Rabu, 06 Januari 2010

Makalah Ekonomi

PERAN CGI DAN IMF PADA PEREKONOMIAN
INDONESIA

I. PENDAHULUAN
Dengan berpatokan pada garis kemiskinan dari Bank Dunia sebesar 2 USD per hari, maka pada tahun 2002 55,1% penduduk Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan. Walaupun angka ini diproyeksikan sedikit turun menjadi 49,5% pada tahun 2005, tetap menjadikan sejumlah besar warga berada dalam kondisi yang rentan. Untuk menyikapi masalah kemiskinan INFID merekomendasikan Pemerintah Indonesia dan CGI mengkaji ulang keberlanjutan anggaran dan fiskal Pemerintah Indonesia berdasarkan pada sasaran pembangunan manusia insani dan pengurangan kemiskinan sebagaimana diamanatkan oleh Sasaran Milenium PBB (pada tahun 2015, separuh penduduk dunia harus terbebas dari kemiskinan) untuk memastikan koherensi dan konsistensi dalam kebijakan dan program.
Untuk memastikan kemitraan sejati antara Indonesia dan negara-negara donor, INFID menyerukan kepada CGI untuk mengubah kelompok kerjanya yang sekarang sedang menangani penuntasan kemiskinan menjadi Kemitraan bagi Pengurangan Kemiskinan dan Pengucilan Sosial (Partnership for Poverty Reduction and Social Exclusion) yang terdiri dari perwakilan pemerintah Indonesia dan para donor. Mandat kemitraan adalah mengkaji kebijakan ekonomi yang berlaku (moneter dan fiskal) untuk menjamin bahwa upaya-upaya pengurangan kemiskinan dan pengucilan sosial mendapatkan dana yang memadai. Kemitraan selayaknya juga mengkaji dan mengevaluasi proyek bantuan pembantuan (ODA) dan proyek berdasarkan pinjaman dari perspektif pengurangan kemiskinan dan pembangunan manusia insani. Kemitraan juga mengevaluasi akibat bantuan mengikat terhadap pembangunan ekonomi dan sosial di Indonesia.
Beban utang Indonesia telah menumpuk sejak sebelum krisis keuangan tahun 1997 dan naik tajam setelah krisis hingga mencapai angka 136 milyar USD. World Bank Global Development Finance 2002 melaporkan bahwa status Indonesia adalah "Negara Berpenghasilan Rendah dengan Utang Parah" (Severely Indebted Low Income Country atau SILIC), sejajar dengan Afghanistan, Pakistan dan Nigeria. Meskipun Indonesia menerima penjadwalan utang dari Paris Club, pertimbangan pengurangan utang bagi Indonesia ditolak mentah-mentah. Alasannya, masalah utang adalah perkara likuiditas dan bukan solvabilitas (penghapusan).
Dalam melakukan pinjaman utang ke luar negeri sebaiknya didasarkan pada Sistem Ekonomi Pancasila. Sistem Ekonomi Pancasila (SEP) merupakan sistem ekonomi yang digali dan dibangun dari nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat Indonesia. Beberapa prinsip dasar yang ada dalam SEP tersebut antara lain berkaitan dengan prinsip kemanusiaan, nasionalisme ekonomi, demokrasi ekonomi yang diwujudkan dalam ekonomi kerakyatan, dan keadilan. SEP juga dibangun atas dasar nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, yang bisa berasal dari nilai-nilai agama, kebudayaan, adat-istiadat, atau norma-norma, yang membentuk perilaku ekonomi masyarakat Indonesia.




II. KEADAAN DI INDONESIA
Kasus terbelenggunya negara kita pada utang luar negeri yang begitu besar membuat Indonesia makin terperosok dalam krisis ekonomi yang terjadi sampai sekarang ini. Utang pemerintah ini dibuat bukan saja ketika Indonesia menghadapi masa sulit, melainkan juga ketika kita sedang “banjir uang dari minyak” (oil boom) di tahun 1970-an dan awal 1980-an. Pada waktu itu yang dilakukan pemerintah bukan menyimpan atau menabung sebagian dana minyak tersebut, sebagaimana yang dilakukan Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah lainnya, yang menyimpan dan menginvestasikan dananya di negara-negara Barat. Indonesia sebaliknya malah meningkatkan pinjamannya kepada IGGI (yang tahun 1992 berubah menjadi CGI) dengan “jaminan” penerimaan minyak yang besar. Akibatnya, ketika utang sudah mulai jatuh tempo, nila tukar rupiah merosot, dan penerimaan minyak semakin terbatas, Indonesia menghadapi kesulitan membayar kembali utangnya. Kita tejebak dalam fenomena “Gali lubang, tutup lubang”. Di samping itu, ketergantungan pada negara lain menjadi tinggi, dan kedaulatan ekonomi pun “tersandera” pada lembaga-lembaga keuangan internasonal.
Sejumlah besar negara donor di Consultative Group on Indonesia (CGI) mendukung permintaan Indonesia agar pemberian komitmen pinjaman ke depan didasarkan pada perspektif kebutuhan Indonesia dalam jangka menengah (multiyears), dan bukan lagi kebutuhan per tahun seperti sebelumnya. Sebagian besar negara donor juga merespons secara positif keinginan Indonesia yang menghendaki adanya fleksibilitas dalam desain program-program yang dibiayai dengan pinjaman dan pengalokasian pinjaman.
Jika dalam berperilaku ekonomi kita menggali dari nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat kita sendiri, maka sebenarnya sudah banyak peringatan untuk sejauh mungkin mengindari utang, atau tidak berutang secara berlebihan dan di luar kemampuan untuk membayar kembali. Oleh karena itu, mentalitas pengutang yang ditunjukkan oleh pemerintah, yang menggantungkan pada pinjaman luar negeri untuk mendukung anggaran pemerintah, merupakan penyimpangan sikap hidup dan nilai-nilai serta ajaran ekonomi yang mengakar dalam masyarakat. Pandangan hidup ekonomi ini bisa dilihat dari beragam pepatah (peribahasa), yang mengingatkan untuk berhati-hati dalam berutang. Ajaran tentang utang-piutang dalam peribahasa ini, misalnya, mengatakan “Utang melilit pinggang” atau “Utang sebanyak gulu” yang mengandung nilai untuk tidak berlebihan dalam berutang. Pepatah lain “Besar pasak dari pada tiang” merupakan nilai-nilai yang menjadi acuan ekonomi masyarakat untuk hidup sesuai dengan kemampuannya dan tidak bersifat hedonistik, mengajarkan untuk tidak memaksakan diri dalam berkonsumsi jika itu pada akhirnya memberatkan. Hidup harus sesuai dengan batas-batas yang dimilikinya, dan tidak tergantung pada orang lain (kemandirian dan nasionalisme). Sebagai suatu norma (elemen dari sistem), “ajaran” yang terkandung dalam pepatah itu diakui sebagai kebenaran oleh masyarakat Indonesia. Ini tidak berarti bahwa utang itu tidak dibolehkan sama sekali, melainkan mengingatkan bahwa dalam berutang perlu dilihat kemampuan untuk membayar kembali, dan pengeluaran harus dikendalikan.
Dengan dasar falsafah hidup yang terkandung dalam peribahasa yang menjadi norma ekonomi tersebut dapat dinilai sejauh mana utang-utang luar negeri yang dibuat oleh masyarakat Indonesia (pemerintah dan swasta) saat ini sesuai dengan norma ekonomi kita. Nilai utang luar negeri yang totalnya mencapai US$141 milyar (lebih separo adalah utang pemerintah), jika dilihat dengan berbagai indikator makro yang ada, sudah menggambarkan penyimpangan dari prinsip-prinsip dasar dari perilaku yang sejalan dengan sistem ekonomi yang berkembang dalam masyarakat. Dengan melihat Debt-service ratio (DSR) atau Debt to GDP ratio (DGR) tergambar bahwa utang ini sudah melampaui kemampuan kita untuk membayar kembali. Misalnya, “konvensi” ahli ekonomi yang moderat, menyatakan bahwa DSR ini maksimal 25%. Namun DSR Indonesia saat ini sudah sekitar 50%.
Ketika terjadi oil boom, pemerintah seperti terlena dan lupa daratan. Kita lupa bahwa cadangan minyak kita terbatas, harga minyak berfluktuasi, dan ketergantungan penerimaan dari satu komoditi sangat membahayakan perekonomian. Ini sebagai akibat perilaku yang ingin cepat enak, cepat kaya. Padahal sikap demikian merupakan perilaku keliru, yang dalam pepatah lama sudah diingatkan “Baru hendak bertunas sudah dipetik, lama-lama matilah pokoknya” (Baru beruang sedikit sudah boros, akhirnya sengsara). Akibatnya, perekonomian dilanda krisis mendalam, khususnya sektor modern yang akhirnya berdampak pada sektor sektor yang lain.









III. PEMBAHASAN
Bagaimanakah selanjutnya kita menyikapi utang luar negeri ini, yang diberikan oleh negara-negara dan lembaga internasional anggota CGI? Ada beberapa kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk menyikapi utang luar negeri ini, antara lain :
1. Sikap pemerintah yang mulai “menurunkan” besaran komitmen utang luar negeri yang dibuat sudah merupakan kebijakan yang tepat, walaupun nilai penurunannya masih relatif kecil yang hanya “mengimbangi” nilai bunga dan cicilan utang yang dijadwalkan kembali.
2. Untuk mengurangi ketergantungan dan beban generasi masa akan datang, sudah selayaknya ada penjadwalan yang jelas tentang kapan kita harus berhenti berutang.
3. Pemerintah sebaiknya mengoptimalkan komitmen pinjaman yang sudah dibuat sebelumnya, yang sampai saat ini banyak yang belum bisa dimanfaatkan sepenuhnya. Misalnya tahun lalu, sekitar 25% komitmen pinjaman dari CGI tidak bisa ditarik, baik karena ketidaksiapan program yang didanai maupun karena counterpart fund yang tidak memadai. Akibatnya Indonesia harus membayar commitment fee yang besarnya 0,75% dari nilai pinjaman yang tidak ditarik tersebut.
Menko Perekonomian Rizal Ramli optimis bahwa politik tidak akan menjadi isu utama dalam pertemuan CGI di Tokyo, 17-18 Oktober 2000. Alasannya, Pemerintah Indonesia telah berbuat banyak dalam menanggulangi masalah-masalah politik yang mendapat sorotan dunia internasional, termasuk masalah Timor Timur. Di Jakarta, mantan Menteri Keuangan Bambang Sudibyo memperkirakan pertemuan Consultative Group on Indonesia (CGI) tidak akan semulus pertemuan sebelumnya, karena banyaknya janji-janji pemerintah yang meleset. Sementara International NGO Forum on Indonesia Development (Infid) menyerukan pemerintah agar meminta pemotongan utang dalam pertemuan tersebut.
Pemerintah menargetkan memperoleh komitmen pinjaman sebesar 4,8 milyar dollar AS dalam pertemuan CGI kali ini, guna menutup defisit RAPBN 2001 yang diperkirakan mencapai sekitar Rp 52,1 trilyun atau 3,7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). International NGO Forum on Indonesia Development mengingatkan kepada pemerintah agar meminta penghapusan utang kepada donor CGI. "Dalam pertemuan CGI mendatang sama sekali tidak ada proposal resmi permintaan pemerintah mengenai keringanan atau pemotongan utang lama. Sementara permintaan utang baru bukan merupakan satu-satunya cara yang dapat dilakukan (untuk menutupi APBN)," ujar Zoemrotin KS, Ketua Infid didampingi Binny Buchory dan Sugeng Bahagijo di Jakarta.
Menurut Infid, pemotongan utang lama ini diperlukan karena rasio utang terhadap GDP telah menggelembung sebanyak 83 persen dan pemerintah sudah tidak dapat lagi membayar utangnya. Selain itu, utang-utang tersebut merupakan utang haram dan utang kriminal yang dibuat pemerintah lama dan tidak dapat dibebankan kepada pemerintah baru. "Kami juga mendesak agar CGI memperhatikan dan mau mendukung investigasi utang yang dikorup oleh rezim lama," tambah Zoemrotin lagi.
INFID merekomendasikan agar Pemerintah Indonesia, para kreditur dan para anggota CGI untuk memasukkan isu dampak kewajiban utang terhadap kemiskinan dan pembangunan manusia dalam penaksiran mereka untuk keberlanjutan utang. Asumsi dasarnya adalah pembayaran cicilan utang luar negeri harus dipandang sebagai perkara nomor dua dibandingkan biaya pembangunan manusia insani. Pemerintah Indonesia harus meminta, dan para kreditur serta para anggota CGI harus mempertimbangkan secara serius, kemungkinan pengurangan utang Indonesia. INFID juga menyerukan kepada pemerintah Indonesia, para kreditur dan para anggota CGI untuk melakukan pemeriksaan dan audit utang yang diperoleh Indonesia semasa rezim Soeharto dari tahun 1967 sampai 1999, yang bertujuan untuk menentukan legitimasi utang tersebut dan mengidentifikasi bagian utang yang dikorupsi atau disalahgunakan untuk tujuan kriminal.
Menurut INFID, kebijakan dan langkah pemerintah Indonesia dan CGI terhadap utang domestik harus diatur oleh prinsip-prinsip (a) tidak boleh ada pengalihan utang swasta menjadi utang publik, dan (b) harus ada kemauan memikul beban bersama pada sektor swasta. Yaitu bahwa sektor swasta harus menanggung bagian beban utang yang menjadi tanggung jawabnya. Karena besarnya biaya restrukturisasi keuangan pada sektor publik, kinerja BPPN dan penjualan asetnya harus diperhitungkan berdasarkan kedua prinsip tersebut. Selain itu, pemerintah Indonesia harus melakukan tindakan hukum yang tegas dan tepat terhadap para pengutang yang melanggar kesepakatan atau menolak bekerja sama dengan pemerintah dalam upaya mereka memenuhi kewajiban yang belum dilunasi.
INFID mengatakan agar Pemerintah Indonesia, dengan dukungan para anggota CGI, harus menyesuaikan reformasi sektor perbankan untuk mengurangi beban pada sektor publik. Rekapitalisasi kedua dan ketiga serta ketidakpastian yang timbul dalam sistem keuangan menggoyahkan sistem, dan berakibat sangat negatif pada rakyat Indonesia dan tidak boleh dilakukan lagi.
Kita semua telah mendengar tentang Dana Moneter Internasional (IMF). Enam tahun di Indonesia, IMF hanya memperparah krisis dan membebani negara dengan utang yang lebih besar. IMF hanyalah instrumen imperialis negara-negara maju, terutama Amerika Serikat, dan dikuasai antek-antek Yahudi. Maka, patutlah dikumandangkan semangat ’go to hell with the IMF!’ di Indonesia. Namun, benarkah demikian?
Cyrillus Harinowo, salah seorang kandidat dalam pemilihan Gubernur Bank Indonesia (BI) 2003 lalu yang lekat dengan pengelolaan aspek moneter selama krisis, tidak setuju. Buku terbarunya, IMF: Penanganan Krisis dan Indonesia pasca-IMF (IMF-PKIP), menolak analisis dangkal, hitam-putih, tentang peran ekonomi IMF yang kerap dimunculkan politisi maupun media massa. Penolakan pendangkalan ini menjadikan IMF-PKIP sebagai sebuah referensi berharga bagi pengamat, sejarawan, maupun mahasiswa ekonomi Indonesia. Cyrillus memang dekat dengan penanganan krisis IMF di Indonesia. Antara tahun 1998-2000, ketika Indonesia di dasar jurang krisis, ia ditunjuk menjadi direktur eksekutif pengganti (alternate executive director) mewakili kawasan Asia Tenggara dalam Dewan Direksi IMF. Sebelumnya pun ia telah lebih dari dua puluh tahun berkiprah di pemerintahan, baik di BI maupun Departemen Perdagangan. Cyrillus menolak anggapan bahwa peran IMF sepenuhnya buruk. Walaupun tidak mengecilkan ’kesalahan fatal’ IMF menutup 16 bank, tindakannya kemudian yang all-out membantu upaya keluar krisis, mencegah kehancuran total sistem keuangan Indonesia, serta mengembalikan stabilitas ekonomi.
Setidaknya, dalam dua hal, peran penting IMF menyelamatkan perekonomian tidak muncul di media massa. Pertama, dalam Program Penjaminan Simpanan, salah satu upaya yang berhasil mencegah total meltdown sistem perbankan. Peran bantuan teknis IMF besar dalam desain maupun promosi program yang diistilahkan Cyrillus sebagai ’mukjizat’ yang berhasil membalikkan derasnya arus uang keluar dari sistem perbankan. Peran kedua adalah dalam menjamin kredit swasta. Menurut dia: "...IMF telah bertindak melebihi tugasnya, dan bukan tidak mungkin telah pula mempertaruhkan kredibilitasnya, di mana Stanley Fischer (orang kedua IMF) secara sungguh-sungguh meyakinkan kepada para bankir luar negeri mengenai pentingnya menjaga credit line mereka di bank-bank di Indonesia". Garansi IMF ini memungkinkan terus berjalannya impor, dan mencegah kelangkaan barang dan inflasi tidak terkendali di Indonesia selama masa terburuk krisis.
Dengan melihat kondisi tersebut maka pemerintah didesak untuk segera menghentikan kontrak dngan lembaga internasional IMF tersebut, walaupun sebenarnya juga sudah terlambat. “Jeratan” IMF pada kendali kebijakan perekonomian Indonesia, sehingga menurunkan kedaulatan nasional ekonomi kita, sudah berjalan sangat lama dengan hasil yang minimal, menelan biaya sosial-ekonomi yang mahal. Tetangga kita yang sama-sama mengalami krisis, Korea Selatan dan Thailand, hanya kurang dari dua tahun sudah melepaskan diri dari IMF. Bahkan, Malaysia pada awal krisis secara tegas menolak untuk dibantu IMF. Mereka tidak ingin dibantu atau berlama-lama berada di “tangan” IMF, karena tak ingin kedaulatan ekonominya dikendalikan lembaga internasional tersebut. Mereka tak ingin nasionalisme ekonominya “digadaikan” dengan hasil yang belum jelas. Sayangnya Indonesia, yang dalam sistem ekonominya yang ber-Pancasila mensyaratkan nasionalisme ekonomi, justru terjebak dalam tangan IMF, dan ternyata juga gagal memulihkan ekonomi nasional.
Jika kita mengatakan IMF gagal membantu pemulihan ekonomi Indonesia, ini bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Karena sejauh ini peran IMF dengan filosofi yang dipegangnya tak selalu cocok untuk negara berkembang. Kebijakan-kebijakan IMF yang meliberalkan perekonomian dengan membuka pasar barang dan modal seluas-luasnya, sistem kurs bebas, mengetatkan APBN, menjual BUMN, dan membatasi intervensi pemerintah, tidak jarang justru bersifat kontra produktif bagi perbaikan ekonomi negara berkembang. Tak kurang dari Joseph E. Stiglitz, ekonom dunia terkemuka peraih nobel tahun 2001, menohok IMF yang dikatakannya dengan ahli ekonom “kelas tiga” ingin mengatur negara-negara yang sangat komplek permasalahan ekonominya. Hasilnya, menurut Stiglitz dalam “Globalization and Its Discontents” , justru mendorong penyebaran resesi ekonomi dari satu negara ke negara lain, menyulitkan kaum miskin karena IMF sangat berorientasi pada kepentingan elit para kreditor, menimbulkan pengangguran, dan sebagainya.
Kritik Stiglitz pada IMF tersebut tampak jelas dalam ekonomi Indonesia saat ini. Sebagai syarat bantuan IMF (yang pada awalnya saja ada 130 prasyarat), anggaran diketatkan dan defisit ditekan yang akhirnya menuai kelambanan pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya pengangguran, penjualan BUMN secara obral dan jatuh ke tangan asing, hapusnya segala bentuk subsidi dalam tempo singkat dengan konsekuensi merosotnya daya beli masyarakat, terus meningkatnya penduduk miskin, dan sebagainya. Kita terpaksa mengikuti pandangan IMF karena itulah syarat dari pinjaman yang diberikan. Namun demikian harus diakui IMF cukup membantu mengatasi persoalan jangka pendek, seperti gejolak nilai tukar rupiah. Dalam hal ini, dana dan figur IMF cukup membantu mengatasi gejolak kurs dan mempersuasi pelaku ekonomi untuk tetap berusaha di tanah air.
Oleh karena itu, bagaimanapun juga mundurnya IMF kelak tetap perlu disikapi dan diwaspadai kemungkinan dampak negatif yang muncul. Birokrasi ekonomi kita selama lima tahun didukung secara ketat oleh IMF dan kemudian dilepas, sehingga yang terjadi bagaikan “anak yang ditinggal pergi” orang tuanya. Akibatnya mengalami shock karena kehilangan penuntun dan belum siap mandiri. Ini pula yang bisa terjadi dengan penyusun dan pelaksana kebijakan ekonomi nasional. Namun demikian inilah proses pendewasaan yang harus dihadapi perencana dan pelaksana kebijakan ekonomi Indonesia. Karenanya aspek-aspek makro ekonomi seperti berkaitan dengan efisiensi pemanfatan utang luar negeri, masuknya modal asing, peningkatan ekspor, pengendalian impor, penghematan anggaran khususnya yang menggunakan devisa, dan mencegah terjadinya capital outflow. Kebijakan yang berkaitan dengan mengundang masuk dana dari luar negeri dan menghemat keluarnya devisa merupakan langkah yang diharapkan bisa mengkompensasi dana yang tak lagi mengucur dari IMF.

















IV. KESIMPULAN
CGI (Consultative Group on Indonesia) merupakan lembaga yang terdiri dari kumpulan negara-negara “pendonor”, yang memberikan bantuan pada Indonesia dalam bentuk pinjaman jangka menengah (multi years).
IMF mempunyai peran penting dalam menyelamatkan perekonomian. Pertama, dalam Program Penjaminan Simpanan, salah satu upaya yang berhasil mencegah total meltdown sistem perbankan. Peran bantuan teknis IMF besar dalam desain maupun promosi program yang diistilahkan Cyrillus sebagai ’mukjizat’ yang berhasil membalikkan derasnya arus uang keluar dari sistem perbankan. Peran kedua adalah dalam menjamin kredit swasta.
IMF dikatakan gagal membantu pemulihan ekonomi Indonesia, karena sejauh ini peran IMF dengan filosofi yang dipegangnya tak selalu cocok untuk negara berkembang. Kebijakan-kebijakan IMF yang meliberalkan perekonomian dengan membuka pasar barang dan modal seluas-luasnya, sistem kurs bebas, mengetatkan APBN, menjual BUMN, dan membatasi intervensi pemerintah, tidak jarang justru bersifat kontra produktif bagi perbaikan ekonomi negara berkembang.


DAFTAR PUSTAKA

Gaduh. B. Arya. 2004. IMF: Penanganan Krisis Dan Indonesia Pasca-IMF. http://www.kompas.co.id. Diakses Juni 2006.
Kompas, 2000. CGI Dukung Fleksibilitas Penggunaan Pinjaman. http://www.kompas.co.id. Diakses Juni 2006.
Kompas, 2000. IMF Kembali Mengingatkan Indonesia. http://www.kompas.co.id. Diakses Juni 2006.
Suandi, Edy H. 2003. CGI, IMF, Dan Sistem Ekonomi Pancasila. http://www.ekonomirakyat. org. Diakses Juni 2006.

Tidak ada komentar: