Rabu, 30 Desember 2009

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PRINSIP INSURABLE INTEREST DALAM ASURANSI JIWA

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PRINSIP INSURABLE
INTEREST DALAM ASURANSI JIWA

A. PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara berkembang yang pada saat ini
sedang melaksanakan pembangunan di segala bidang.
Pembangunan nasional yang dilaksanakan selama ini
merupakan pembangunan yang berkesinambungan dalam
rangka mewujudkan masyarakat adil makmur berdasarkan
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Perkembangan
ekonomi nasional dewasa ini menunjukkan arah yang semakin
maju oleh karena itu diperlukan usaha yang sungguh-sungguh
dalam melakukan pembangunan ekonomi di negara
kita.Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
semakin banyak pula kemajuan yang dicapai oleh bangsa
Indonesia. Perkembangan tersebut tidak jarang menimbulkan
kerugian yang cukup besar, antara lain terbakarnya gedunggedung,
jatuhnya pesawat terbang, hilangnya dana deposan dan
lain-lain. Risiko-risiko tersebut tidak dikehendaki dan tidak dapat
diduga kapan terjadinya oleh siapapun. Oleh karena itu, manusia
berusaha untuk menghidndari risiko atau minimal mengurangi
beban kerugian yang menimpa dirinya atau harta bendanya.
Dalam menghadapi risiko yang dapat terjadi sewaktu-waktu,
perlu diambil langkah-langkah pengamanan agar dapat
mengurangi kerugian apabila risiko tersebut benar-benar
dideritanya.
Adanya risiko-risiko kerugian tersebut, maka melalui
lembaga asuransi dapat dialihkan untuk mengatasinya yaitu
dengan pemberian ganti kerugian oleh lembaga asuransi apabila
risiko itu benar-benar terjadi.
Usaha perasuransian sebagai salah satu lembaga
keuangan menjadi penting peranannya karena dari kegiatan
usaha ini diharapkan dapat semakin meningkat lagi pengerahan
dana masyarakat untuk pembiayaan pembangunan.
Pasal 246 KUHD merumuskan tentang asuransi atau
pertanggungan, yaitu :
Suatu perjanjian dengan mana penanggung mengikatkan diri
kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu prremi
untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu
kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan yang mungkin akan dideritanya akibat dari suatu
peristiwa tidak tentu.
Sedangkan menurut Pasal 1 angka (1) Undang-undang
No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, merumuskan :
Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua
pihak atu lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan
diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asurasi, untuk
memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian,
kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan
diderita tertetanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang
tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang
didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang
dipertanggungkan.
Selanjutnya menurut Pasal huruf (a) Undang-undang No.
2 Tahun 1992, usaha asuransi dikelompokkan menjadi 3 jenis
yaitu :
1. Usaha asuransi kerugaian yang memberikanjasa dalam
penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat,
dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang timbul
dari peristiw ayang tidak pasti.
2. Usaha asuransi jiwa yang memberikan jasa dalam
penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau
meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan.
3. Usaha reasuransi yang memberikan jasa dalam asuaransi
ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan
asuransi kerugian atau perusahaan asuransi jiwa.
Menurut Vollmar dalam bukunya Emmy Pangaribuah
Simanjuntak mengatakan bahwa bentuk dari pertanggungan
jumlah adalah pertanggungan jiwa atau asuransi jiwa. Mengenai
asuransi jiwa para sarjana ada yang mengidentifikasikan dengan
pertanggungan yang tidak sesungguhnya atau yang disebut
sommenverzekering. (Emmy Pangaribuan Simanjuntak, 1980 :
195).
Menurut Pasal 302 dan Pasal 303 KUHD merumuskan
bahwa jiwa seseorang dapat dipertanggungkan untuk keperluan
orang yang berkepentingan, baik untuk selama hidupnya
maupun untuk waktu yang ditentukan. Sedangkan dalam Pasal
303 KUHD merumuskan bahwa orang yang berkepentingan
dapat mengadakan pertanggungan itu bahkan di luar
pengetahuan atau persetujuan orang yang jiwanya
dipertanggungkan.
Menurut Ketut Sendra, prinsip-prinsip dasar dalam
perasuransian antara lain : itikad baik (utmost good faith),
kepentingan yang dapat diasuransikan (insurable interest),
Indemnity subrogasi, dan prinsip kontribusi.
a. Prinsip itikad baik (utmost good faith)
Utmos good faith dari bahasa latin uberrimai fides, yang
dapat diterjemahkan dengan itikad baik, itikad yang amat
baik, bahkan ada yang menerjemahkannya dengan kejujuran
yang sempurna.
Dalam perjanjian asuransi unsur saling percaya antara
penanggung dan tertanggung itu sangat penting.
Penanggung percaya bahwa terteanggung akan memberikan
segala keterangan dengan benar.
b. Prinsip kepentingan yang diasuransikan (insurable interest)
Insurable interest secara harafiah dapat diterjemahkan
sebagai kepentingan yang dapat diasuransikan, atau lebih
tepat lagi kepentingan finansial yang dapat diasuransikan.
Untuk mengetahui kapan timbulnya insurable iterest dapat
dilihat dalam Pasal 250 KUHD yaitu :
Apabila seorang yang telah mengadakan suatu
pertanggungn untuk diri sendiri, atau apabila seorang, yang
untuknya telah diadakan suatu pertanggungan, pada saat
diadakannya pertanggungan itu tidak mempunyai suatu
kepentingan terhadap barang yang dipertanggungkan itu
maka si penanggung tidaklah diwajibkan memberi ganti rugi.
(Ketut Sendra, 2004 : 87-88).
Insurable interest menurut KUHD harus ada pada saat
dimulainya pertanggungan. Sedangkan untuk asuransi
umum, kecuali untuk asuransi pengangkutan insurable
interest tersebut harus tetap aa selama berlangsungnya
pertanggungan, yang dimulai dari saat dimulainya
pertanggungan sampai berakhirnya pertanggungan atau
terjadinya klaim. (A. Hasyim Ali, 1993 : 85).
Selanjutnya dalah asuransi jiwa, kepentingan yang dapat
diasuransikan adalah suatu dugaan kerugian yang masuk
akal yang timbul karena meninggalnya orang yang jiwanya
diasuransikan.
B. PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan
permasalahan yaitu bagaimanakah penerapan asas insurable
interest dalam asuransi jiwa.
C. PEMBAHASAN
Pengertian perjanjian asuransi secara umum terdapat dalam
Pasal 246 KUHD, yang merumuskan :
Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan
mana penanggung mengikatkan diri kepada seorang
tertanggung dengan menerima suatu premi untuk memberikan
penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan,
atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin
akan dideritanya akibat dari suatu peristiwa tidak tentu.
Menurut Purwosutjipto, dikatakan bahwa rumusan Pasal
246 KUHD adalah tepat bagi asuransi kerugian, sebab tujuan
asuransi kerugian itu mengganti kepada tertanggung karena suatu
kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan,
yang mungkin akan diderita oleh tertanggung, sebagai akibat suatu
peristiwa tak tentu (Purwosutjipto, 1986 : 6).
Pasal 1 angka (1) Undang-undang No. 2 Tahun 1992
merumuskan :
Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua
pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung
mengikatkandiri kepada tertanggung, dengan menerima premi
asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung
karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga,
yang mungkin diharapkan, atau tanggung jawab hukum
kepada pihak ketiga, yang mungkin akan diderita tertanggung,
yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk
memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas
meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Mendasarkan pada rumusan tersebut, Abdulkadir
Muhammad berpendapat : Jika dibandingkan dengna definisi
dalam Pasal 246 KUHD, definisi dalam UU No. 2 Tahun 1992
ternyata lebih lengkap dan luas, karena selain meliputi asuransi
kerugian dan asuransi jiwa, juga meliputi pertanggungan tentang
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga. Abdulkadir
Muhammad, 2002 : 9).
Bentuk pertanggungan jumlah adalah asuransi jiwa,
sedangkan yang dimaksud dengan asuransi jiwa menurut
Purwosutjipto, dikatakan bahwa :
Pertanggungan jiwa adalah perjanjian timbal balik antara
penutup (pengambil) asuransi dengan penanggung dengan
mana penutup asuransi mengikatkan diri selama jalannya
pertanggungan membayar uang premi kepada penanggung,
sedangkan penanggung sebagai akibat langsung dari
meninggalnya orang yang jiwanya dipertanggungkan atau
telah lampaunya suatu jangka waktu yang diperjanjian,
mengikatkan diri untuk membayar sejumlah uang tertentu
kepada orang yang ditunjuk oleh penutup asuransi sebagai
penikmatnya. (Purwosutjipto, 1986 : 10).
Selanjutnya Purwosutjipto dengan mensitir pendapat dari
Molengraff, memberikan dua definisi asuransi jiwa dalam arti luas
dan sempit, yaitu :
Pertanggungan jiwa dalam arti luas meliputi semua perjanjian
tentang pembayaran sejumlah uang pokok (kapital) atau suatu
yang didasarkan atas pembayaran hidup matinya seseorang
(Pasal 308 KUHD), dan karena itu pembayaran uang pokok
atau pembayaran uang premi atau kedua-duanya bagi segala
jenis (pertanggungan jiwa) digantungkan pada hidup matinya
satu atau beberapa orang tertentu.
Sedangkan dalam arti sempit, pertanggungan jiwa adalah
perjanjian tentang pembayaran uang pokok (kapital), satu
jumlah sekaligus pada waktu hidup matinya orang yang
ditunjuk. (Purwosutjipto, 1986 : 9).
Dalam perjanjian asuransi mendasarkan pada syarat sahnya
perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu
:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Menurut Subekti, asas konsensual dapat disimpulkan dari
Pasal 1320 KUHPerdata, karena dalam pasal tersebut tidak
disebutkan formalitas tertentu disamping kesepakatan yang
telah tercapai. Ini berarti bahwa untuk terjadinya suatu
perjanjian cukup bila ada persesuaian kehendak atau
kesepakatan antara para pihak. (Subekti, 1983 : 17).
Selanjutnya menurut Pasal 255 KUHD merumuskan bahwa
asuransi harus diadakan secara tertulis dengan sepucuk akta yang
dinamakan polis. Sedangkan Pasal 257 ayat (1) KUHD
menyebutkan bahwa perjanjian pertanggungan diterbitkan seketika
setelah ia ditutup, hak-hak dan kewajiban-kewajiban bertimbal balik
dari si penanggung dan si tertanggung mulai berlaku sejak saat itu,
bahkan sebelum polisnya ditandatangani.
Mendasarkan pada Pasal 246 KUHD, Abdul Kadir
Muhammad berpendapat bahwa premi adalah salah satu unsur
penting dalam asuransi karena merupakan kewajiban utama yang
harus dipenuhi oleh tertanggung kepada penanggung. Penanggung
menerima pengalihan risiko dari tertanggung dan tertanggung
membayar sejumlah premi sebagai imbalannya. Apabila premi tidak
dibayar, asuransi dapat dibatalkan atau setidak-tidaknya asuransi
tidak berjalan. Premi harus dibayar lebih dahulu oleh tertanggung
karena tertanggunglah pihak yang berkepentingan. (Abdul Kadir
Muhammad, 2002 : 103).
Sedangkan menurut Emmy Pangaribuan Simanjuntak
berpendapat bahwa :
Fungsi premi adalah merupakan harga pembelian dari
tanggungan yang wajib diberikan oleh penanggung atau
sebagai imbalan dari risiko yang diperalihkan dari tertanggung.
(Emmy Pangaribuan Simanjuntak, 1980 : 41).
Mengenai polis pertanggungan jiwa diatur secara khusus
dalam Pasal 304 KUHD, yang dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Hari ditutupnya pertanggungan
Hari dan tanggal ditutupnya pertanggungan perlu disebut
dalam polis untuk mengetahui kapan mulai masa
pertanggungan, dalam jangka waktu mana risiko menjadi
beban penanggung.
b. Nama tertanggung
c. Nama orang yang jiwanya dipertanggungkan.
d. Saat mulai berlaku dan berakhirnya bahaya bagi si
penanggung.
e. Jumlah uang untuk mana diadakan pertanggungan, jumlah
pertanggungan ialah suatu jumlah uang tertentu yang
diperjanjikan pada saat ditutupnya pertanggungan sebagai
jumlah santunan yang harus dibayarkan oleh penanggung.
f. Premi pertanggungan tersebut. Uang premi ialah sejumlah
uang yang harus dibayarkan oleh penutup asuransi kepada
penanggung setiap bulan atau tiap suatu jangka waktu
tertentu selama jalannya pertanggungan. (Purwosutjipto,
1986 : 121).
Berkaitan dengan asuransi jiwa (menurut hukum Inggris
maupun KUHD) insurable interest harus ada pada saat dimulainya
pertanggungan. Sedangkan untuk asuransi umum, kecuali untuk
asuransi pengangkutan insurable interest tersebut harus tetap ada
selama berlangsungnya pertanggungan, yang dimulai dari saat
dimulainya pertanggungan sampai berakhirnya pertanggungan atau
terjadinya klaim.
Insurable interest dapat diartikan sebasgai hak yang sah yang
dimilki seseorang untuk mempertanggungkan kepentingan
keuangannya pada obyek pertanggungan, sehingga jika terjadi
suatu peristiwa merugikan yang menimpa obyek pertanggungan,
tertanggung akan mengalami kerugian keuangan. (Ketut Sendra,
2004 : 96).
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, bisa disimpulkan
bahwa asuransi atas kehidupan seseorang tidak sah apabila
tertanggung atau pemegang polis tidak mempunyai insurable
interest atas hidup atau kehidupan dari orang yang menjadi obyek
pertanggungan. Dalam asuransi atas harta benda, tanpa didukung
oleh insurable interest sama halnya dengan perjudian, sehingga
tidak mempunyai kekuatan hukum.
Dalam asuransi insurable interest timbul karena :
1. Hubungan darah
Menurut aturan mayoritas, orang tua mempunyai insurable
interest atas hidup anaknya dan demikian juga sebaliknya. Kakek
dan nenek juga mempunyai insurable interest atas cucunya dan
sebaliknya dengan kakak dan adik. Namun paman atau bibi,
keponakan serta sepupu tidak mempunyai insurable interest
karena hubungan darah yang tidak dekat kecuali mereka
mempunyai hubungan bisnis.
2. Hubungan perkawinan
Suami isteri mempunyai insurable interest atas diri pasangannya,
bahkan beberapa pengadilan menyatakan bahwa pertunangan
dapat menimbulkan hubungan insurable interest. Hubungan
akibat perkawinan selain suami isteri, misalnya anak tiri, tiak
mempunyai insurable interest kecuali anak tiri tersebut
mendapatkan dukungan keuangan.
3. Hubungan bisnis
Pada banyak hubungan bisnis kematian dini satu pihak dapat
menimbulkan kerugian finansial yang cukup besar bagi pihak
lain. Oleh karena itu, pihak-pihak yang mempunyai hubungan
bisnis mempunyai insurable interest atas hidup pihak lain. (Ketut
Sendra, 2004 : 97).
Menurut A. Hasyim Ali dalam asuransi jiwa, doktrin
kepentingan yang dapat diasuransikan berlaku bagi setiap hal,
kecuali apabila seseorang membeli polis asuransi jiwa atas
hidupnya sendiri. Dalam hal ini, ia tidak akan dapat memenuhi
persyaratan kepentingan yang dapat diasuransikan sebab pada
waktu nilai nominal polis itu dibayarkan, ia sangat mungkin telah
meninggal, dan dalam hal yang demikian ia tidak menderita suatu
kerugian keuangan. Banyak penulis yang menyatakan bahwa siapa
saja dianggap mempunyai kepentingan tak terbatas yang dapat
diasuransikan atas hidupnya sendiri. Walaupun paham ini mudah
dimengerti oleh mahasiswa namun sulit mencocokkan dengan
definisi kepentingan yang dapat diasuransikan. Itulah sebabnya,
hukum menetapkan bahwa kepentingan yang dapat diasuransikan
tidak perlu apabila seseorang membeli asuransi jiwa atas dirinya
sendiri. Perseorangan juga diizinkan oleh hukum untuk menunjuk
seseorang beneficiary (pihak yang berkepentingan) yang
disukainya untuk menagih hasil plis yang dibelinya atas dirinya
sendiri. (A. Hasyim Ali, 1993 : 90).
Menurut Emmy Pangaribuan Simanjuntak, biasanya
diperjanjikan bahwa pembayaran sejumlah uang dari penanggung
itu akan dibayarkan kepada seorang lain apabila pemegang polis itu
meninggal dunia. Orang lain inilah yang disebut dengan orang yang
berkepentingan. Perjanjian pertanggungan tersebut di dalam hal
yang demikian adalah merupakan perjanjjian yang dimaksud di
dalam Pasal 1317 KUHPerdata. (Emmy Pangaribuan
Simanjuntak, 1980 : 98).
Sedangkan menurut A. Hasyim Ali memahami arti
kepentingan yang dapat diasuransikan dalam asuransi jiwa, tiga
istilah perlu dipahami yaitu subyek, pemilik dan beneficiary (pihak
yang berkepentingan). Subyek adalah orang yang kematiannya
menyebabkan pembayaran polis. Pemilik adalah orang yang
berwenang untuk melaksanakan semua hak dalam polis itu.
Beneficiary adalah orang yang berhak atas hasil polis itu pada
waktu meninggalnya subyek. Ketiga pihak ini atau dua pihak dapat
merupakan pihak yang sama. (A. Hasyim Ali, 1993 : 90).
D. KESIMPULAN
Penerapan prinsip insurable interest dalam asuransi Jiwa
mendasarkan pada Pasal 250 KUHD, hal ini dilihat dari kepentingan
yang bersifat immateriil, yang bersifat hubungan kekeluargaan dan
hubungan cinta kasih antar anggota keluarga yang menyangkut
risiko hidup dan meninggalnya tertanggung. Insurable interest
tersebut harus ada pada saat mulai berlakunya pertanggungan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Hasyim Asuransi, Pengantar Asuransi, Bumi Aksara, Jakarta.
1993.
Muhammad Abdul Kadir, Hukum Asuransi Indonesia, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2002.
Purwosutjipto, H.M.N., Pengertian Pokok Hukum Dagang Jilid 6,
Djambatan, Jakarta. 1986.
Simanjuntak, Emmy Pangaribuan, Hukum Pertanggungan, Liberty,
Yogyakarta, 1980.
Subekti, Prof., Hukum Perjanjian, PT. Internusa, Jakarta. 1983.
Sendra, Ketut, Konsep dan Penerapan Asuransi Jiwa Unit Link,
PPM, Yogyakarta, 2004.

Tidak ada komentar: