TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PRINSIP INSURABLE
INTEREST DALAM ASURANSI JIWA
A. PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara berkembang yang pada saat ini
sedang melaksanakan pembangunan di segala bidang.
Pembangunan nasional yang dilaksanakan selama ini
merupakan pembangunan yang berkesinambungan dalam
rangka mewujudkan masyarakat adil makmur berdasarkan
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Perkembangan
ekonomi nasional dewasa ini menunjukkan arah yang semakin
maju oleh karena itu diperlukan usaha yang sungguh-sungguh
dalam melakukan pembangunan ekonomi di negara
kita.Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
semakin banyak pula kemajuan yang dicapai oleh bangsa
Indonesia. Perkembangan tersebut tidak jarang menimbulkan
kerugian yang cukup besar, antara lain terbakarnya gedunggedung,
jatuhnya pesawat terbang, hilangnya dana deposan dan
lain-lain. Risiko-risiko tersebut tidak dikehendaki dan tidak dapat
diduga kapan terjadinya oleh siapapun. Oleh karena itu, manusia
berusaha untuk menghidndari risiko atau minimal mengurangi
beban kerugian yang menimpa dirinya atau harta bendanya.
Dalam menghadapi risiko yang dapat terjadi sewaktu-waktu,
perlu diambil langkah-langkah pengamanan agar dapat
mengurangi kerugian apabila risiko tersebut benar-benar
dideritanya.
Adanya risiko-risiko kerugian tersebut, maka melalui
lembaga asuransi dapat dialihkan untuk mengatasinya yaitu
dengan pemberian ganti kerugian oleh lembaga asuransi apabila
risiko itu benar-benar terjadi.
Usaha perasuransian sebagai salah satu lembaga
keuangan menjadi penting peranannya karena dari kegiatan
usaha ini diharapkan dapat semakin meningkat lagi pengerahan
dana masyarakat untuk pembiayaan pembangunan.
Pasal 246 KUHD merumuskan tentang asuransi atau
pertanggungan, yaitu :
Suatu perjanjian dengan mana penanggung mengikatkan diri
kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu prremi
untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu
kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan yang mungkin akan dideritanya akibat dari suatu
peristiwa tidak tentu.
Sedangkan menurut Pasal 1 angka (1) Undang-undang
No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, merumuskan :
Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua
pihak atu lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan
diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asurasi, untuk
memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian,
kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan
diderita tertetanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang
tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang
didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang
dipertanggungkan.
Selanjutnya menurut Pasal huruf (a) Undang-undang No.
2 Tahun 1992, usaha asuransi dikelompokkan menjadi 3 jenis
yaitu :
1. Usaha asuransi kerugaian yang memberikanjasa dalam
penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat,
dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang timbul
dari peristiw ayang tidak pasti.
2. Usaha asuransi jiwa yang memberikan jasa dalam
penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau
meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan.
3. Usaha reasuransi yang memberikan jasa dalam asuaransi
ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan
asuransi kerugian atau perusahaan asuransi jiwa.
Menurut Vollmar dalam bukunya Emmy Pangaribuah
Simanjuntak mengatakan bahwa bentuk dari pertanggungan
jumlah adalah pertanggungan jiwa atau asuransi jiwa. Mengenai
asuransi jiwa para sarjana ada yang mengidentifikasikan dengan
pertanggungan yang tidak sesungguhnya atau yang disebut
sommenverzekering. (Emmy Pangaribuan Simanjuntak, 1980 :
195).
Menurut Pasal 302 dan Pasal 303 KUHD merumuskan
bahwa jiwa seseorang dapat dipertanggungkan untuk keperluan
orang yang berkepentingan, baik untuk selama hidupnya
maupun untuk waktu yang ditentukan. Sedangkan dalam Pasal
303 KUHD merumuskan bahwa orang yang berkepentingan
dapat mengadakan pertanggungan itu bahkan di luar
pengetahuan atau persetujuan orang yang jiwanya
dipertanggungkan.
Menurut Ketut Sendra, prinsip-prinsip dasar dalam
perasuransian antara lain : itikad baik (utmost good faith),
kepentingan yang dapat diasuransikan (insurable interest),
Indemnity subrogasi, dan prinsip kontribusi.
a. Prinsip itikad baik (utmost good faith)
Utmos good faith dari bahasa latin uberrimai fides, yang
dapat diterjemahkan dengan itikad baik, itikad yang amat
baik, bahkan ada yang menerjemahkannya dengan kejujuran
yang sempurna.
Dalam perjanjian asuransi unsur saling percaya antara
penanggung dan tertanggung itu sangat penting.
Penanggung percaya bahwa terteanggung akan memberikan
segala keterangan dengan benar.
b. Prinsip kepentingan yang diasuransikan (insurable interest)
Insurable interest secara harafiah dapat diterjemahkan
sebagai kepentingan yang dapat diasuransikan, atau lebih
tepat lagi kepentingan finansial yang dapat diasuransikan.
Untuk mengetahui kapan timbulnya insurable iterest dapat
dilihat dalam Pasal 250 KUHD yaitu :
Apabila seorang yang telah mengadakan suatu
pertanggungn untuk diri sendiri, atau apabila seorang, yang
untuknya telah diadakan suatu pertanggungan, pada saat
diadakannya pertanggungan itu tidak mempunyai suatu
kepentingan terhadap barang yang dipertanggungkan itu
maka si penanggung tidaklah diwajibkan memberi ganti rugi.
(Ketut Sendra, 2004 : 87-88).
Insurable interest menurut KUHD harus ada pada saat
dimulainya pertanggungan. Sedangkan untuk asuransi
umum, kecuali untuk asuransi pengangkutan insurable
interest tersebut harus tetap aa selama berlangsungnya
pertanggungan, yang dimulai dari saat dimulainya
pertanggungan sampai berakhirnya pertanggungan atau
terjadinya klaim. (A. Hasyim Ali, 1993 : 85).
Selanjutnya dalah asuransi jiwa, kepentingan yang dapat
diasuransikan adalah suatu dugaan kerugian yang masuk
akal yang timbul karena meninggalnya orang yang jiwanya
diasuransikan.
B. PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan
permasalahan yaitu bagaimanakah penerapan asas insurable
interest dalam asuransi jiwa.
C. PEMBAHASAN
Pengertian perjanjian asuransi secara umum terdapat dalam
Pasal 246 KUHD, yang merumuskan :
Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan
mana penanggung mengikatkan diri kepada seorang
tertanggung dengan menerima suatu premi untuk memberikan
penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan,
atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin
akan dideritanya akibat dari suatu peristiwa tidak tentu.
Menurut Purwosutjipto, dikatakan bahwa rumusan Pasal
246 KUHD adalah tepat bagi asuransi kerugian, sebab tujuan
asuransi kerugian itu mengganti kepada tertanggung karena suatu
kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan,
yang mungkin akan diderita oleh tertanggung, sebagai akibat suatu
peristiwa tak tentu (Purwosutjipto, 1986 : 6).
Pasal 1 angka (1) Undang-undang No. 2 Tahun 1992
merumuskan :
Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua
pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung
mengikatkandiri kepada tertanggung, dengan menerima premi
asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung
karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga,
yang mungkin diharapkan, atau tanggung jawab hukum
kepada pihak ketiga, yang mungkin akan diderita tertanggung,
yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk
memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas
meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Mendasarkan pada rumusan tersebut, Abdulkadir
Muhammad berpendapat : Jika dibandingkan dengna definisi
dalam Pasal 246 KUHD, definisi dalam UU No. 2 Tahun 1992
ternyata lebih lengkap dan luas, karena selain meliputi asuransi
kerugian dan asuransi jiwa, juga meliputi pertanggungan tentang
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga. Abdulkadir
Muhammad, 2002 : 9).
Bentuk pertanggungan jumlah adalah asuransi jiwa,
sedangkan yang dimaksud dengan asuransi jiwa menurut
Purwosutjipto, dikatakan bahwa :
Pertanggungan jiwa adalah perjanjian timbal balik antara
penutup (pengambil) asuransi dengan penanggung dengan
mana penutup asuransi mengikatkan diri selama jalannya
pertanggungan membayar uang premi kepada penanggung,
sedangkan penanggung sebagai akibat langsung dari
meninggalnya orang yang jiwanya dipertanggungkan atau
telah lampaunya suatu jangka waktu yang diperjanjian,
mengikatkan diri untuk membayar sejumlah uang tertentu
kepada orang yang ditunjuk oleh penutup asuransi sebagai
penikmatnya. (Purwosutjipto, 1986 : 10).
Selanjutnya Purwosutjipto dengan mensitir pendapat dari
Molengraff, memberikan dua definisi asuransi jiwa dalam arti luas
dan sempit, yaitu :
Pertanggungan jiwa dalam arti luas meliputi semua perjanjian
tentang pembayaran sejumlah uang pokok (kapital) atau suatu
yang didasarkan atas pembayaran hidup matinya seseorang
(Pasal 308 KUHD), dan karena itu pembayaran uang pokok
atau pembayaran uang premi atau kedua-duanya bagi segala
jenis (pertanggungan jiwa) digantungkan pada hidup matinya
satu atau beberapa orang tertentu.
Sedangkan dalam arti sempit, pertanggungan jiwa adalah
perjanjian tentang pembayaran uang pokok (kapital), satu
jumlah sekaligus pada waktu hidup matinya orang yang
ditunjuk. (Purwosutjipto, 1986 : 9).
Dalam perjanjian asuransi mendasarkan pada syarat sahnya
perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu
:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Menurut Subekti, asas konsensual dapat disimpulkan dari
Pasal 1320 KUHPerdata, karena dalam pasal tersebut tidak
disebutkan formalitas tertentu disamping kesepakatan yang
telah tercapai. Ini berarti bahwa untuk terjadinya suatu
perjanjian cukup bila ada persesuaian kehendak atau
kesepakatan antara para pihak. (Subekti, 1983 : 17).
Selanjutnya menurut Pasal 255 KUHD merumuskan bahwa
asuransi harus diadakan secara tertulis dengan sepucuk akta yang
dinamakan polis. Sedangkan Pasal 257 ayat (1) KUHD
menyebutkan bahwa perjanjian pertanggungan diterbitkan seketika
setelah ia ditutup, hak-hak dan kewajiban-kewajiban bertimbal balik
dari si penanggung dan si tertanggung mulai berlaku sejak saat itu,
bahkan sebelum polisnya ditandatangani.
Mendasarkan pada Pasal 246 KUHD, Abdul Kadir
Muhammad berpendapat bahwa premi adalah salah satu unsur
penting dalam asuransi karena merupakan kewajiban utama yang
harus dipenuhi oleh tertanggung kepada penanggung. Penanggung
menerima pengalihan risiko dari tertanggung dan tertanggung
membayar sejumlah premi sebagai imbalannya. Apabila premi tidak
dibayar, asuransi dapat dibatalkan atau setidak-tidaknya asuransi
tidak berjalan. Premi harus dibayar lebih dahulu oleh tertanggung
karena tertanggunglah pihak yang berkepentingan. (Abdul Kadir
Muhammad, 2002 : 103).
Sedangkan menurut Emmy Pangaribuan Simanjuntak
berpendapat bahwa :
Fungsi premi adalah merupakan harga pembelian dari
tanggungan yang wajib diberikan oleh penanggung atau
sebagai imbalan dari risiko yang diperalihkan dari tertanggung.
(Emmy Pangaribuan Simanjuntak, 1980 : 41).
Mengenai polis pertanggungan jiwa diatur secara khusus
dalam Pasal 304 KUHD, yang dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Hari ditutupnya pertanggungan
Hari dan tanggal ditutupnya pertanggungan perlu disebut
dalam polis untuk mengetahui kapan mulai masa
pertanggungan, dalam jangka waktu mana risiko menjadi
beban penanggung.
b. Nama tertanggung
c. Nama orang yang jiwanya dipertanggungkan.
d. Saat mulai berlaku dan berakhirnya bahaya bagi si
penanggung.
e. Jumlah uang untuk mana diadakan pertanggungan, jumlah
pertanggungan ialah suatu jumlah uang tertentu yang
diperjanjikan pada saat ditutupnya pertanggungan sebagai
jumlah santunan yang harus dibayarkan oleh penanggung.
f. Premi pertanggungan tersebut. Uang premi ialah sejumlah
uang yang harus dibayarkan oleh penutup asuransi kepada
penanggung setiap bulan atau tiap suatu jangka waktu
tertentu selama jalannya pertanggungan. (Purwosutjipto,
1986 : 121).
Berkaitan dengan asuransi jiwa (menurut hukum Inggris
maupun KUHD) insurable interest harus ada pada saat dimulainya
pertanggungan. Sedangkan untuk asuransi umum, kecuali untuk
asuransi pengangkutan insurable interest tersebut harus tetap ada
selama berlangsungnya pertanggungan, yang dimulai dari saat
dimulainya pertanggungan sampai berakhirnya pertanggungan atau
terjadinya klaim.
Insurable interest dapat diartikan sebasgai hak yang sah yang
dimilki seseorang untuk mempertanggungkan kepentingan
keuangannya pada obyek pertanggungan, sehingga jika terjadi
suatu peristiwa merugikan yang menimpa obyek pertanggungan,
tertanggung akan mengalami kerugian keuangan. (Ketut Sendra,
2004 : 96).
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, bisa disimpulkan
bahwa asuransi atas kehidupan seseorang tidak sah apabila
tertanggung atau pemegang polis tidak mempunyai insurable
interest atas hidup atau kehidupan dari orang yang menjadi obyek
pertanggungan. Dalam asuransi atas harta benda, tanpa didukung
oleh insurable interest sama halnya dengan perjudian, sehingga
tidak mempunyai kekuatan hukum.
Dalam asuransi insurable interest timbul karena :
1. Hubungan darah
Menurut aturan mayoritas, orang tua mempunyai insurable
interest atas hidup anaknya dan demikian juga sebaliknya. Kakek
dan nenek juga mempunyai insurable interest atas cucunya dan
sebaliknya dengan kakak dan adik. Namun paman atau bibi,
keponakan serta sepupu tidak mempunyai insurable interest
karena hubungan darah yang tidak dekat kecuali mereka
mempunyai hubungan bisnis.
2. Hubungan perkawinan
Suami isteri mempunyai insurable interest atas diri pasangannya,
bahkan beberapa pengadilan menyatakan bahwa pertunangan
dapat menimbulkan hubungan insurable interest. Hubungan
akibat perkawinan selain suami isteri, misalnya anak tiri, tiak
mempunyai insurable interest kecuali anak tiri tersebut
mendapatkan dukungan keuangan.
3. Hubungan bisnis
Pada banyak hubungan bisnis kematian dini satu pihak dapat
menimbulkan kerugian finansial yang cukup besar bagi pihak
lain. Oleh karena itu, pihak-pihak yang mempunyai hubungan
bisnis mempunyai insurable interest atas hidup pihak lain. (Ketut
Sendra, 2004 : 97).
Menurut A. Hasyim Ali dalam asuransi jiwa, doktrin
kepentingan yang dapat diasuransikan berlaku bagi setiap hal,
kecuali apabila seseorang membeli polis asuransi jiwa atas
hidupnya sendiri. Dalam hal ini, ia tidak akan dapat memenuhi
persyaratan kepentingan yang dapat diasuransikan sebab pada
waktu nilai nominal polis itu dibayarkan, ia sangat mungkin telah
meninggal, dan dalam hal yang demikian ia tidak menderita suatu
kerugian keuangan. Banyak penulis yang menyatakan bahwa siapa
saja dianggap mempunyai kepentingan tak terbatas yang dapat
diasuransikan atas hidupnya sendiri. Walaupun paham ini mudah
dimengerti oleh mahasiswa namun sulit mencocokkan dengan
definisi kepentingan yang dapat diasuransikan. Itulah sebabnya,
hukum menetapkan bahwa kepentingan yang dapat diasuransikan
tidak perlu apabila seseorang membeli asuransi jiwa atas dirinya
sendiri. Perseorangan juga diizinkan oleh hukum untuk menunjuk
seseorang beneficiary (pihak yang berkepentingan) yang
disukainya untuk menagih hasil plis yang dibelinya atas dirinya
sendiri. (A. Hasyim Ali, 1993 : 90).
Menurut Emmy Pangaribuan Simanjuntak, biasanya
diperjanjikan bahwa pembayaran sejumlah uang dari penanggung
itu akan dibayarkan kepada seorang lain apabila pemegang polis itu
meninggal dunia. Orang lain inilah yang disebut dengan orang yang
berkepentingan. Perjanjian pertanggungan tersebut di dalam hal
yang demikian adalah merupakan perjanjjian yang dimaksud di
dalam Pasal 1317 KUHPerdata. (Emmy Pangaribuan
Simanjuntak, 1980 : 98).
Sedangkan menurut A. Hasyim Ali memahami arti
kepentingan yang dapat diasuransikan dalam asuransi jiwa, tiga
istilah perlu dipahami yaitu subyek, pemilik dan beneficiary (pihak
yang berkepentingan). Subyek adalah orang yang kematiannya
menyebabkan pembayaran polis. Pemilik adalah orang yang
berwenang untuk melaksanakan semua hak dalam polis itu.
Beneficiary adalah orang yang berhak atas hasil polis itu pada
waktu meninggalnya subyek. Ketiga pihak ini atau dua pihak dapat
merupakan pihak yang sama. (A. Hasyim Ali, 1993 : 90).
D. KESIMPULAN
Penerapan prinsip insurable interest dalam asuransi Jiwa
mendasarkan pada Pasal 250 KUHD, hal ini dilihat dari kepentingan
yang bersifat immateriil, yang bersifat hubungan kekeluargaan dan
hubungan cinta kasih antar anggota keluarga yang menyangkut
risiko hidup dan meninggalnya tertanggung. Insurable interest
tersebut harus ada pada saat mulai berlakunya pertanggungan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Hasyim Asuransi, Pengantar Asuransi, Bumi Aksara, Jakarta.
1993.
Muhammad Abdul Kadir, Hukum Asuransi Indonesia, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2002.
Purwosutjipto, H.M.N., Pengertian Pokok Hukum Dagang Jilid 6,
Djambatan, Jakarta. 1986.
Simanjuntak, Emmy Pangaribuan, Hukum Pertanggungan, Liberty,
Yogyakarta, 1980.
Subekti, Prof., Hukum Perjanjian, PT. Internusa, Jakarta. 1983.
Sendra, Ketut, Konsep dan Penerapan Asuransi Jiwa Unit Link,
PPM, Yogyakarta, 2004.
Rabu, 30 Desember 2009
Senin, 28 Desember 2009
Money Laundering
“MONEY LAUNDERING”
I. PENDAHULUAN
Perkembangan di bidang pengetahuan dan teknologi telah mendorong pula perkembangan ragam kejahatan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Kejahatan dalam suatu wilayah negara maupun lintas batas wilayah negara juga semakin berkembang, diantaranya illegal logging, perdagangan obat-obatan terlarang, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, terorisme, penyuapan, korupsi dan kejahatan-kejahatan kerah putih lainnya. Tindak kejahatan ini umumnya melibatkan dan menghasilkan uang dalam jumlah yang besar.
Terdapat berbagai modus yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan tersebut untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan tersebut, salah satunya adalah dengan memasukkan hasil tindak pidana tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system), terutama ke dalam sistem perbankan. Dengan demikian asal usul harta kekayaan tersebut tidak dapat dilacak oleh penegak hukum. Modus inilah yang disebut dengan pencucian uang (Money Laundring).
Money Laundring atau tindak pidana pencucian uang merupakan fenomena yang telah menjadi sorotan dunia internasional. Secara sederhana, pencucian uang merupakan suatu perbuatan memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari suatu tindak pidana yang kerap dilakukan oleh criminal organization, maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan narkotika, kejahatan kehutanan, kejahatan lingkungan hidup dan tindak pidana lainnya.
Hal yang melatarbelakangi para pelaku pencucian uang adalah dengan maksud menjauhkan para pelaku tersebut dari kejahatan yang menghasilkan proceeds of crime. Selain itu, memisahkan proceeds of crime dari kejahatan yang dilakukan, menikmati hasil kejahatan tanpa adanya kecurigaan kepada pelakunya, serta melakukan investasi ulang hasil kejahatan untuk aksi kejahatan selanjutnya ke dalam bisnis yang sah. Melalui tindakan melanggar hukum ini, pendapatan atau harta kekayaan yang didapat dari hasil kejahatan diubah menjadi dana yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah atau legal.
Tujuan utama pelaku kejahatan melakukan pencucian uang adalah untuk menyamarkan dana hasil kejahatan agar si pelaku tersebut pada akhirnya bebas menikmati karena setelah melalui proses placement, layering dan integration dana tersebut menjadi dana yang seolah-olah didapat dari sumber yang halal (legitimate source).
Proses seseorang atau perusahaan melakukan pencucian uang, biasanya dilakukan dalam tiga tahap agar kegiatan tidak etis atau unethical conduct ini dapat berlangsung dengan aman. Tahap pertama adalah langkah penempatan. Uang yang dihasilkan dari kejahatan mula-mula ditempatkan pada lembaga keuangan atau digunakan untuk membeli aset. Tahap kedua adalah langkah pelapisan, tindakan ini untuk mengaburkan asal-usul dana tersebut. Proses ini biasanya dengan memindahkan dana dari satu bank ke bank lain atau dana tersebut dijadikan agunan untuk mendukung usaha yang sah. Tahap ketiga adalah langkah penggabungan. Pada tahap ini uang haram tadi sudah dapat digabungkan dengan aset lainnya melalui sistem keuangan yang sudah ada, yang selanjutnya dapat digunakan untuk kegiatan ekonomi atau bisnis melalui sistem keuangan yang legal.
II. KEADAAN DI INDONESIA
Pencucian uang biasanya melalui sarana Penyedia Jasa Keuangan, misalnya Bank, Lembaga pembiayaan Perusahaan Effek, Pengelola Reksadana, Pedagang valuta asing, Dana Pensiun, dan Perusahaan Asuransi. Akan tetapi selama ini yang sering digunakan oleh pelaku pencucian uang adalah Lembaga Perbankan, hal ini dimungkinkan karena Lembaga Perbankan akses jangkauannya luas juga mudah dilakukan oleh setiap orang apalagi di dalam Undang-Undang Perbankan, nasabah diberikan perlindungan dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan yaitu mengenai rahasia bank.
Perkembangan dalam bidang perbankan semakin pesat. Hal ini dilatar belakangi adanya ekonomi global yang mana ikut mendorong munculnya tindak pidana pencucian uang (money laundrying) yang menggunakan sarana perbankan sebagai tempat pencucian uang. Perbankan merupakan elemen dominan dalam sistem keuangan yang sering digunakan sebagai sarana pencucian uang. Berbagai produk jasa keuangan yang ditawarkan bank untuk menciptakan kemudahan bagi nasabahnya sering dimanfaatkan para pelaku kejahatan untuk mencuci dana hasil kejahatannya. Sehubungan dengan hal ini bank potensial memiliki berbagai risiko, diantaranya risiko reputasi, risiko operasional, risiko hukum dan risiko konsentrasi Oleh karena itu, pengamanan sistem perbankan dari kegiatan pencucian uang perlu mendapat perhatian khusus.
Kasus pencucian uang pernah dialami oleh BNI. Laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang dikutip oleh Kepala Bapepam Herwidayatmo menyebutkan bahwa sekitar Rp 11,4 miliar yang berasal dari hasil tindak pidana manipulasi kredit ekspor BNI senilai Rp 1,7 triliun beberapa waktu lalu, terbukti telah ditransaksikan ke pasar modal. (Tempo, 2003)
Salah satu tersangka yang kini dalam tahanan Kejaksaan Agung adalah mantan Direktur Utama PT Siak Zamrud Pustaka, Nader Taher. Nader diduga menyelewengkan kredit Bank Mandiri sebesar US$ 4,21 juta untuk pembangunan kilang pengeboran lepas pantai yang ternyata tidak dilaksanakan (Tempo, 2005).
Usaha asuransi jiwa juga rawan dijadikan tempat pencucian uang. Premi asuransi jiwa yang bernilai besar memungkinkan seseorang memanfaatkan asuransi jiwa sebagai medium pencucian uang hasil kejahatan. Hal tersebut dikuatkan oleh Ketua Dewan Asuransi Indonesia Hotbonar Sinaga. Menurut dia, besarnya premi pada asuransi jiwa berjangka waktu pendek dapat dimanfaatkan tertanggung atau pemodal untuk memasukkan uang hasil kejahatan pada mekanisme perbankan yang legal (Kompas, 2003).
Potensi tindak pidana pencucian uang melalui penebangan liar oleh para cukong kayu di Indonesia sangat besar. Hal ini bisa dilihat dari masih besarnya potensi melakukan penebangan liar atau illegal logging di 59 juta hektar hutan milik Pemerintah Indonesia. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Pasal 2 Ayat (1), kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana di bidang kehutanan yang kemudian dimanfaatkan termasuk dalam tindak pidana pencucian uang (Kompas, 2005).
Lembaga kajian Ekonomist Intelligence Unit (EIU) memperkirakan bahwa pelarian modal akhir tahun ini akan mencapai sekira 368 juta dolar AS dan akan naik menjadi sekitar 1,96 miliar dolar AS pada tahun 2008. Selama periode 2001-2003, pelarian modal mencapai sekira 660 juta dolar AS. Sedangkan investasi asing yang ditarik dari Indonesia selama periode 2001-2003 mencapai sekira 5,79 miliar dolar.
Dengan pelarian modal yang sebesar itu sepanjang tahun ini, deretan jumlah pelarian modal Indonesia kian membesar. Jika pada tahun 1988 diperkirakan totalnya sekira 85 miliar dolar AS, dengan demikian tentu jumlah sekarang jauh lebih besar. (Pikiran Rakyat, 2006)
Perubahan perlu segera dilakukan mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan dari praktik pencucian uang. Dampak yang akan merugikan Indonesia itu diantaranya adalah instabilitas sistem keuangan, distorsi ekonomi, serta kemungkinan gangguan terhadap pengendalian jumlah uang beredar.
III. KENDALA MONEY LAUNDRING
Beberapa kendala yang dihadapi dalam upaya mengatasi money laundry antara lain:
1. Saat ini pemerintah masih menggolongkan "money laundring" sebagai delik pemudahan sekategori dengan penadahan. Dalam praktek penegakan hukum delik penadahan (mobil curian) sudah sangat sulit, apalagi dalam hal dana yang baru berasal dari korupsi dan sebagainya. Karena itu pemikiran baru dalam hukum acara pidana (khusus dalam hal pembuktian) perlu dikembangkan.
2. Dalam mendeteksi "uang haram" ini perlu diterobos kendala peraturan tentang "kerahasiaan data bank" (UU 10/1998 dan Peraturan Bank Indonesia No.2/19/PBI/2000). Kerahasiaan data bank ini berkaitan erat dengan kepercayaan pada "hubungan nasabah dengan bank", dan hal ini selanjutnya berpengaruh pula pada iklim investasi yang perlu diperbaiki untuk "economic recovery" Indonesia. Diperlukan strategi bersama bidang ekonomi, bidang keuangan dan bidang penegakan hukum, bahwa tidak terjadi "abuse" (misalnya "data" nasabah diteruskan ke instansi pajak atau "dijual" ke saingan bisnis nasabah bersangkutan) dalam kewenangan memperoleh data keuangan nasabah bank.
3. Transaksi "money laundring" melalui internet (web transaction) hanya dapat dilacak melalui keahlian khusus tentang sistem komputer dan keamanannya (serupa kemampuan seorang "hacker")
4. Kekurangan RUU Money Laundring tidak mengatur tentang yurisdiksi. Masalah yurisdiksi sebenarnya sudah lama menjadi isu dalam kejahatan terorganisasi (KTO). Apalagi kalau kita pahami bahwa bentuk kejahatan money laundring akan memanfaatkan teknologi informasi (internet) dan "cyberword", sehingga tepat bila kita lebih khusus lagi memikirkan tentang "cyberjurisdiction".
5. Kualitas sumber daya manusia pada lembaga keuangan bank dan non-bank, aparat penyidik baik kepolisian maupun kejaksaan belum memahami profil transaksi money laundry.
IV. UPAYA MENGATASI MONEY LAUNDRING
Pada tataran internasional, upaya melawan kegiatan pencucian uang dilakukan dengan membentuk The Financial Action Task Force oleh tujuh negara maju (G-7) dalam G-7 Summit di Perancis, bulan Juli 1989. Beberapa anggotanya antara lain Amerika Serikat, Australia, Inggris, Jerman, serta dua organisasi regional berpengaruh besar seperti Komisi Eropa dan Dewan Kerja Sama Teluk.
Sejak dimasukkannya Indonesia dalam daftar non-cooperative countries and territories (NCCTs), pemerintah telah mengambil beberapa langkah serius dalam waktu yang relatif singkat, khususnya untuk mengatasi kelemahan yang telah disoroti oleh FATF dengan dasar Rekomendasi 40 (Forty Recomendation). Langkah tersebut antara lain, membuat UU No 15 Tahun 2002. Atas dasar UU tersebut, pencucian uang ditetapkan sebagai tindak pidana dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dibentuk sebagai lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan kesewenangannya untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.
Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) dibentuk sebagai lembaga independen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan tidak di bawah departemen atau instansi lain. Tugas lembaga ini, terutama, adalah menerima laporan-laporan dari seluruh penyedia jasa keuangan atau siapapun juga yang dianggap perlu melapor. PPATK kemudian akan melakukan analisis lalu laporan tersebut akan diteruskan ke kepolisian dan kejaksaan untuk ditindaklanjuti. Pekerjaan PPATK dipertanggungjawabkan setiap enam bulan.
Pemerintah juga telah mengeluarkan ketentuan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Costumer/KYC) bagi lembaga keuangan nonbank, termasuk perusahaan sekuritas. Pada taraf internasional, pemerintah telah melakukan upaya-upaya penting, antara lain, merintis kerja sama dengan Financial Intelligence Unit dan penegak hukum lain, penandatanganan perjanjian Mutual Legal Assistance, dan perjanjian ekstradisi.
Ada banyak pihak terkait yang perlu bekerjasama untuk mengatasi kejahatan pencucian uang, termasuk nasabah bank / lembaga keuangan non bank.. Sebagai salah satu entry bagi masuknya uang hasil tindak kejahatan, bank harus mengurangi risiko digunakannya sebagai sarana pencucian uang dengan cara mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau transaksi dan memelihara profil nasabah, serta melaporkan adanya transaksi keuangan yang mencurigakan (suspicious transactions) yang dilakukan oleh pihak yang menggunakan jasa bank. Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah atau lebih dikenal umum dengan Know Your Customer Principle (KYC Principle) ini didasari pertimbangan bahwa KYC tidak saja penting dalam rangka pemberantasan pencucian uang, melainkan juga dalam rangka penerapan prudential banking untuk melindungi bank dari berbagai risiko dalam berhubungan dengan nasabah dan counter-party.
Dalam usaha memberantas fenomena money laundring melalui kegiatan perbankan, bank-bank juga seharusnya membangun unit-unit tersendiri pemberantasan money laundring berkoordinasi dengan instansi-instansi keamanan yang bertugas mengawasi dan menyelidiki sumber-sumber dana yang diragukan yang disimpan pada rekening bank.
Tindakan yang sering dilakukan oleh pelaku kejahatan pencucian uang adalah dengan ber”kompormi” dengan pihak bank. Hal ini bisa saja terjadi bila pegawai bank ada yang KKN (khususnya kolusi) dan bekerja sama dalam melakukan tindakan pidana ini. Peningkatan etika dan moral serta sistem di dalam bank maupun pada individual karyawan bank, tentunya akan semakin mempersulit pelaku pencucian uang untuk melakukan tindakan ini melalui lembaga keuangan. Sektor perbankan seharusnya lebih memperketat masuknya uang-uang kedalam perekonomian melalui bank. Bank diharuskan melakukan proses mengenali nasabah (Know Your Customer / KYC principle), mengelola pencatatan rekening dengan baik, dan kewajiban untuk melaporkan transaksi yang “aneh” atau dicurigai. Dengan keharusan untuk melakukan itu semua, tahap awal penempatan dalam lembaga keuangan akan meningkatkan terdeteksinya transaksi tersebut.
PT Bank Danamon Indonesia Tbk (BDI) contohnya, telah melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Kebijakan dan Prosedur KYC
Sebagai bagian dari pengelolaan risiko dan upaya pengawasan atas tindak pidana pencucian uang, BDI menerapkan program Prinsip Mengenal Nasabah atau 'Know Your Customer' (KYC). Untuk memberikan kepastian dalam pelaksanaan prinsip KYC, BDI telah memiliki Kebijakan dan Prosedur yang mengatur mengenai pelaksanaan KYC. Kebijakan berisi prinsip-prinsip dasar pemahaman KYC, sedangkan Prosedur memberikan pedoman pelaksanaan secara mendalam mengenai KYC yang berguna bagi petugas pelaksana di setiap cabang yang berhubungan langsung dengan nasabah (frontliners).
2. Unit Kerja Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah – UKPN
Terkait dengan pelaksanaan KYC, BDI membentuk unit kerja penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (UKPN) yang bertanggungjawab langsung kepada Direktur Kepatuhan. Tugas UKPN antara lain adalah memastikan adanya pengembangan sistem identifikasi nasabah dan transaksi yang mencurigakan, memantau proses pengkinian (update) profil nasabah, serta melakukan koordinasi dan pemantauan terhadap pelaksanaan kebijakan Prinsip Mengenal Nasabah oleh unit-unit kerja terkait.
3. Pelatihan (Training)
BDI melalui UKPN secara berkesinambungan memberikan sosialisasi dalam bentuk pelatihan ke seluruh cabang BDI untuk memberikan pemahaman dan memastikan pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah. Materi pelatihan terdiri dari teori Money Laundring serta teknis pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah, yang meliputi kebijakan penerimaan dan identifikasi nasabah, kebijakan pemantauan transaksi dan pelaporan transaksi keuangan tunai mencurigakan. Saat ini BDI sedang merencanakan untuk membuat materi pelatihan KYC dalam format video training. Dengan video training ini diharapkan proses pelatihan dapat dilaksanakan secara mandiri oleh masing-masing cabang dalam waktu dan tempat yang fleksibel.
Lembaga-lembaga seperti perusahaan asuransi, perusahaan efek, pengelola reksadana, bank custodian dan pedagang valuta asing berpotensi besar menjadi sarana bagi para pelaku kejahatan pencucian uang untuk melakukan hal tersebut. Berkaitan dengan hal ini maka setiap lembaga keuangan baik bank maupun non bank harus melakukan apa yang dikenal dengan prinsip mengenal nasabah yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh lembaga pengawas masing-masing perusahaan jasa keuangan. Dalam hal pendataan, lembaga keuangan diharuskan menyimpan dokumen mengenai nasabah selama lima tahun setelah nasabah tersebut keluar dari lembaga keuangan. Dalam hal in yang dikatakan identitas antara lain adalah nama, alamat, jenis kelamin, umur dan pekerjaan.
Asuransi harus benar-benar menerapkan prinsip mengenal nasabah sehingga risiko dijadikan sebagai medium pencucian uang bisa diperkecil. Asuransi harus memperketat pengawasan dengan menjalankan prinsip tersebut, baik bagi nasabah baru maupun nasabah lama yang sudah memegang polis asuransi. Harus ada koordinasi tentang bagaimana meningkatkan efektivitas dari operasionalisasi unit- unit pelaksanaannya, bagaimana kerja samanya bisa dipererat.
Contoh lain adalah diperlukan sinergi berbagai pihak bukan hanya Departemen Kehutanan dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) saja-untuk memberantas pencucian uang oleh para cukong kayu.
Salah satu upaya yang lain untuk mengatasi kejahatan pencucian uang adalah dengan investasi etis. Upaya dari adanya investasi etis adalah melakukan tindakan investasi yang sesuai dengan moral dan etika berperilaku bisnis baik dari pihak investor maupun perusahaan. Dari berbagai produk yang berkembangan belakangan di pasar global, satu produk bertumbuh dengan pesat. Produk ini diidentifikasi dengan produk investasi yang lebih ber-”moral” atau etis, biasa disebut Ethical Investment.
Secara umum, investasi etis melakukan alokasi atau investasi uang yang memberikan kontribusi positif kepada dunia dan meninggalkan perusahaan yang merusak dunia, baik masyarakat maupun lingkungan. Sering kali sulit bagi seorang investor individu untuk menentukan apakah investasi tersebut etis atau tidak. Oleh karena itu, investasi etis biasanya dikelola oleh sebuah perusahaan sekuritas. Beberapa perusahaan yang mengelola investasi etis menghindari perusahaan atau industri yang memiliki aktivitas seperti rokok, judi, minuman beralkohol, penggundulan hutan, atau jual-beli senjata. Yang lain lebih mengutamakan pendekatan yang lebih proaktif, yaitu dengan memilih investasi yang terlibat dengan masalah perbaikan lingkungan (misalnya energi alternatif ramah lingkungan) atau bisnis yang mengutamakan hubungan sosial masyarakat (Sinar Harapan, 2004).
Hal lain yang perlu dipersiapkan oleh pemerintah Indonesia adalah kualitas sumber daya manusia pada lembaga keuangan bank dan non-bank, aparat penyidik baik kepolisian maupun kejaksaan dalam memahami profil transaksi pencucian uang. Untuk itu diperlukan kerjasama antara instansi terkait dengan PPATK, sebagai financial unit yang bertugas melakukan penyelidikan awal untuk membantu pihak kepolisian dan kejaksaan.
IV. KESIMPULAN
1. Pencucian uang (money laundering) merupakan perbuatan memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari suatu tindak pidana yang kerap dilakukan oleh criminal organization, maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan narkotika, kejahatan kehutanan, kejahatan lingkungan hidup dan tindak pidana lainnya.
2. Proses pencucian uang dilakukan dalam tiga tahap Tahap pertama adalah langkah penempatan. Tahap kedua adalah langkah pelapisan, tindakan ini untuk mengaburkan asal-usul dana tersebut. Tahap ketiga adalah langkah penggabungan.
3. Dampak yang ditimbulkan money laundering untuk Indonesia antara lain instabilitas sistem keuangan, distorsi ekonomi, serta kemungkinan gangguan terhadap pengendalian jumlah uang beredar.
4. Upaya mengatasi kejahatan pencucian uang dapat dengan teknik mengenal pelanggan, dan investasi etis.
DAFTAR PUSTAKA
Candraningrum. 2004. Kasus Pencucian Uang BNI Belum Ditindaklanjuti. http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2005/05/16/brk,.html.
Diakses Juni 2006
Dongoran, Mangarahon. 2005. Pelarian Modal, ”Money Laundring”, dan Presiden Baru. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0604/22/0802.htm. Diakses Juni 2006
Heritage dari JIPTUMM.2003. Tinjauan Normatif Terhadap Undang-Undang N0.15 Tahun 2002 Tentang “ Tindak Pidana Pencucian Uang” Terhadap Ketentuan “Rahasia Bank” Dalam Undang-Undang Perbankan Di Indonesia http://digilib.umm.ac.id/go.php?Id=jiptumm-gdl-heritage-2003-herwastuti 221. Universitas Muhammadiyah: Malang.
Kompas. 2003. Jangan Sepelekan Sanksi FATF Mengenai Pencucian Uang http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0504/13/ekonomi/1678041.htm. Diakses Juni 2006
Reksodiputro, Mardjono. 2003. Money Laundry. http://www.komisihukum.go.id/article. Diakses Juni 2006
Sianipar, Tito. 2005. Tersangka Mandiri Terlibat Pencucian Uang di Belanda
http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2005/05/16/brk,.html. Diakses Juni 2006
Sinaga, Hery. 2003. Asuransi Jiwa Rawan terhadap Pencucian Uang http://www.sinarmas.co.id/forum/artikel/jiwa.php Diakses Juni 2006
I. PENDAHULUAN
Perkembangan di bidang pengetahuan dan teknologi telah mendorong pula perkembangan ragam kejahatan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Kejahatan dalam suatu wilayah negara maupun lintas batas wilayah negara juga semakin berkembang, diantaranya illegal logging, perdagangan obat-obatan terlarang, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, terorisme, penyuapan, korupsi dan kejahatan-kejahatan kerah putih lainnya. Tindak kejahatan ini umumnya melibatkan dan menghasilkan uang dalam jumlah yang besar.
Terdapat berbagai modus yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan tersebut untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan tersebut, salah satunya adalah dengan memasukkan hasil tindak pidana tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system), terutama ke dalam sistem perbankan. Dengan demikian asal usul harta kekayaan tersebut tidak dapat dilacak oleh penegak hukum. Modus inilah yang disebut dengan pencucian uang (Money Laundring).
Money Laundring atau tindak pidana pencucian uang merupakan fenomena yang telah menjadi sorotan dunia internasional. Secara sederhana, pencucian uang merupakan suatu perbuatan memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari suatu tindak pidana yang kerap dilakukan oleh criminal organization, maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan narkotika, kejahatan kehutanan, kejahatan lingkungan hidup dan tindak pidana lainnya.
Hal yang melatarbelakangi para pelaku pencucian uang adalah dengan maksud menjauhkan para pelaku tersebut dari kejahatan yang menghasilkan proceeds of crime. Selain itu, memisahkan proceeds of crime dari kejahatan yang dilakukan, menikmati hasil kejahatan tanpa adanya kecurigaan kepada pelakunya, serta melakukan investasi ulang hasil kejahatan untuk aksi kejahatan selanjutnya ke dalam bisnis yang sah. Melalui tindakan melanggar hukum ini, pendapatan atau harta kekayaan yang didapat dari hasil kejahatan diubah menjadi dana yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah atau legal.
Tujuan utama pelaku kejahatan melakukan pencucian uang adalah untuk menyamarkan dana hasil kejahatan agar si pelaku tersebut pada akhirnya bebas menikmati karena setelah melalui proses placement, layering dan integration dana tersebut menjadi dana yang seolah-olah didapat dari sumber yang halal (legitimate source).
Proses seseorang atau perusahaan melakukan pencucian uang, biasanya dilakukan dalam tiga tahap agar kegiatan tidak etis atau unethical conduct ini dapat berlangsung dengan aman. Tahap pertama adalah langkah penempatan. Uang yang dihasilkan dari kejahatan mula-mula ditempatkan pada lembaga keuangan atau digunakan untuk membeli aset. Tahap kedua adalah langkah pelapisan, tindakan ini untuk mengaburkan asal-usul dana tersebut. Proses ini biasanya dengan memindahkan dana dari satu bank ke bank lain atau dana tersebut dijadikan agunan untuk mendukung usaha yang sah. Tahap ketiga adalah langkah penggabungan. Pada tahap ini uang haram tadi sudah dapat digabungkan dengan aset lainnya melalui sistem keuangan yang sudah ada, yang selanjutnya dapat digunakan untuk kegiatan ekonomi atau bisnis melalui sistem keuangan yang legal.
II. KEADAAN DI INDONESIA
Pencucian uang biasanya melalui sarana Penyedia Jasa Keuangan, misalnya Bank, Lembaga pembiayaan Perusahaan Effek, Pengelola Reksadana, Pedagang valuta asing, Dana Pensiun, dan Perusahaan Asuransi. Akan tetapi selama ini yang sering digunakan oleh pelaku pencucian uang adalah Lembaga Perbankan, hal ini dimungkinkan karena Lembaga Perbankan akses jangkauannya luas juga mudah dilakukan oleh setiap orang apalagi di dalam Undang-Undang Perbankan, nasabah diberikan perlindungan dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan yaitu mengenai rahasia bank.
Perkembangan dalam bidang perbankan semakin pesat. Hal ini dilatar belakangi adanya ekonomi global yang mana ikut mendorong munculnya tindak pidana pencucian uang (money laundrying) yang menggunakan sarana perbankan sebagai tempat pencucian uang. Perbankan merupakan elemen dominan dalam sistem keuangan yang sering digunakan sebagai sarana pencucian uang. Berbagai produk jasa keuangan yang ditawarkan bank untuk menciptakan kemudahan bagi nasabahnya sering dimanfaatkan para pelaku kejahatan untuk mencuci dana hasil kejahatannya. Sehubungan dengan hal ini bank potensial memiliki berbagai risiko, diantaranya risiko reputasi, risiko operasional, risiko hukum dan risiko konsentrasi Oleh karena itu, pengamanan sistem perbankan dari kegiatan pencucian uang perlu mendapat perhatian khusus.
Kasus pencucian uang pernah dialami oleh BNI. Laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang dikutip oleh Kepala Bapepam Herwidayatmo menyebutkan bahwa sekitar Rp 11,4 miliar yang berasal dari hasil tindak pidana manipulasi kredit ekspor BNI senilai Rp 1,7 triliun beberapa waktu lalu, terbukti telah ditransaksikan ke pasar modal. (Tempo, 2003)
Salah satu tersangka yang kini dalam tahanan Kejaksaan Agung adalah mantan Direktur Utama PT Siak Zamrud Pustaka, Nader Taher. Nader diduga menyelewengkan kredit Bank Mandiri sebesar US$ 4,21 juta untuk pembangunan kilang pengeboran lepas pantai yang ternyata tidak dilaksanakan (Tempo, 2005).
Usaha asuransi jiwa juga rawan dijadikan tempat pencucian uang. Premi asuransi jiwa yang bernilai besar memungkinkan seseorang memanfaatkan asuransi jiwa sebagai medium pencucian uang hasil kejahatan. Hal tersebut dikuatkan oleh Ketua Dewan Asuransi Indonesia Hotbonar Sinaga. Menurut dia, besarnya premi pada asuransi jiwa berjangka waktu pendek dapat dimanfaatkan tertanggung atau pemodal untuk memasukkan uang hasil kejahatan pada mekanisme perbankan yang legal (Kompas, 2003).
Potensi tindak pidana pencucian uang melalui penebangan liar oleh para cukong kayu di Indonesia sangat besar. Hal ini bisa dilihat dari masih besarnya potensi melakukan penebangan liar atau illegal logging di 59 juta hektar hutan milik Pemerintah Indonesia. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Pasal 2 Ayat (1), kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana di bidang kehutanan yang kemudian dimanfaatkan termasuk dalam tindak pidana pencucian uang (Kompas, 2005).
Lembaga kajian Ekonomist Intelligence Unit (EIU) memperkirakan bahwa pelarian modal akhir tahun ini akan mencapai sekira 368 juta dolar AS dan akan naik menjadi sekitar 1,96 miliar dolar AS pada tahun 2008. Selama periode 2001-2003, pelarian modal mencapai sekira 660 juta dolar AS. Sedangkan investasi asing yang ditarik dari Indonesia selama periode 2001-2003 mencapai sekira 5,79 miliar dolar.
Dengan pelarian modal yang sebesar itu sepanjang tahun ini, deretan jumlah pelarian modal Indonesia kian membesar. Jika pada tahun 1988 diperkirakan totalnya sekira 85 miliar dolar AS, dengan demikian tentu jumlah sekarang jauh lebih besar. (Pikiran Rakyat, 2006)
Perubahan perlu segera dilakukan mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan dari praktik pencucian uang. Dampak yang akan merugikan Indonesia itu diantaranya adalah instabilitas sistem keuangan, distorsi ekonomi, serta kemungkinan gangguan terhadap pengendalian jumlah uang beredar.
III. KENDALA MONEY LAUNDRING
Beberapa kendala yang dihadapi dalam upaya mengatasi money laundry antara lain:
1. Saat ini pemerintah masih menggolongkan "money laundring" sebagai delik pemudahan sekategori dengan penadahan. Dalam praktek penegakan hukum delik penadahan (mobil curian) sudah sangat sulit, apalagi dalam hal dana yang baru berasal dari korupsi dan sebagainya. Karena itu pemikiran baru dalam hukum acara pidana (khusus dalam hal pembuktian) perlu dikembangkan.
2. Dalam mendeteksi "uang haram" ini perlu diterobos kendala peraturan tentang "kerahasiaan data bank" (UU 10/1998 dan Peraturan Bank Indonesia No.2/19/PBI/2000). Kerahasiaan data bank ini berkaitan erat dengan kepercayaan pada "hubungan nasabah dengan bank", dan hal ini selanjutnya berpengaruh pula pada iklim investasi yang perlu diperbaiki untuk "economic recovery" Indonesia. Diperlukan strategi bersama bidang ekonomi, bidang keuangan dan bidang penegakan hukum, bahwa tidak terjadi "abuse" (misalnya "data" nasabah diteruskan ke instansi pajak atau "dijual" ke saingan bisnis nasabah bersangkutan) dalam kewenangan memperoleh data keuangan nasabah bank.
3. Transaksi "money laundring" melalui internet (web transaction) hanya dapat dilacak melalui keahlian khusus tentang sistem komputer dan keamanannya (serupa kemampuan seorang "hacker")
4. Kekurangan RUU Money Laundring tidak mengatur tentang yurisdiksi. Masalah yurisdiksi sebenarnya sudah lama menjadi isu dalam kejahatan terorganisasi (KTO). Apalagi kalau kita pahami bahwa bentuk kejahatan money laundring akan memanfaatkan teknologi informasi (internet) dan "cyberword", sehingga tepat bila kita lebih khusus lagi memikirkan tentang "cyberjurisdiction".
5. Kualitas sumber daya manusia pada lembaga keuangan bank dan non-bank, aparat penyidik baik kepolisian maupun kejaksaan belum memahami profil transaksi money laundry.
IV. UPAYA MENGATASI MONEY LAUNDRING
Pada tataran internasional, upaya melawan kegiatan pencucian uang dilakukan dengan membentuk The Financial Action Task Force oleh tujuh negara maju (G-7) dalam G-7 Summit di Perancis, bulan Juli 1989. Beberapa anggotanya antara lain Amerika Serikat, Australia, Inggris, Jerman, serta dua organisasi regional berpengaruh besar seperti Komisi Eropa dan Dewan Kerja Sama Teluk.
Sejak dimasukkannya Indonesia dalam daftar non-cooperative countries and territories (NCCTs), pemerintah telah mengambil beberapa langkah serius dalam waktu yang relatif singkat, khususnya untuk mengatasi kelemahan yang telah disoroti oleh FATF dengan dasar Rekomendasi 40 (Forty Recomendation). Langkah tersebut antara lain, membuat UU No 15 Tahun 2002. Atas dasar UU tersebut, pencucian uang ditetapkan sebagai tindak pidana dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dibentuk sebagai lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan kesewenangannya untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.
Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) dibentuk sebagai lembaga independen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan tidak di bawah departemen atau instansi lain. Tugas lembaga ini, terutama, adalah menerima laporan-laporan dari seluruh penyedia jasa keuangan atau siapapun juga yang dianggap perlu melapor. PPATK kemudian akan melakukan analisis lalu laporan tersebut akan diteruskan ke kepolisian dan kejaksaan untuk ditindaklanjuti. Pekerjaan PPATK dipertanggungjawabkan setiap enam bulan.
Pemerintah juga telah mengeluarkan ketentuan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Costumer/KYC) bagi lembaga keuangan nonbank, termasuk perusahaan sekuritas. Pada taraf internasional, pemerintah telah melakukan upaya-upaya penting, antara lain, merintis kerja sama dengan Financial Intelligence Unit dan penegak hukum lain, penandatanganan perjanjian Mutual Legal Assistance, dan perjanjian ekstradisi.
Ada banyak pihak terkait yang perlu bekerjasama untuk mengatasi kejahatan pencucian uang, termasuk nasabah bank / lembaga keuangan non bank.. Sebagai salah satu entry bagi masuknya uang hasil tindak kejahatan, bank harus mengurangi risiko digunakannya sebagai sarana pencucian uang dengan cara mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau transaksi dan memelihara profil nasabah, serta melaporkan adanya transaksi keuangan yang mencurigakan (suspicious transactions) yang dilakukan oleh pihak yang menggunakan jasa bank. Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah atau lebih dikenal umum dengan Know Your Customer Principle (KYC Principle) ini didasari pertimbangan bahwa KYC tidak saja penting dalam rangka pemberantasan pencucian uang, melainkan juga dalam rangka penerapan prudential banking untuk melindungi bank dari berbagai risiko dalam berhubungan dengan nasabah dan counter-party.
Dalam usaha memberantas fenomena money laundring melalui kegiatan perbankan, bank-bank juga seharusnya membangun unit-unit tersendiri pemberantasan money laundring berkoordinasi dengan instansi-instansi keamanan yang bertugas mengawasi dan menyelidiki sumber-sumber dana yang diragukan yang disimpan pada rekening bank.
Tindakan yang sering dilakukan oleh pelaku kejahatan pencucian uang adalah dengan ber”kompormi” dengan pihak bank. Hal ini bisa saja terjadi bila pegawai bank ada yang KKN (khususnya kolusi) dan bekerja sama dalam melakukan tindakan pidana ini. Peningkatan etika dan moral serta sistem di dalam bank maupun pada individual karyawan bank, tentunya akan semakin mempersulit pelaku pencucian uang untuk melakukan tindakan ini melalui lembaga keuangan. Sektor perbankan seharusnya lebih memperketat masuknya uang-uang kedalam perekonomian melalui bank. Bank diharuskan melakukan proses mengenali nasabah (Know Your Customer / KYC principle), mengelola pencatatan rekening dengan baik, dan kewajiban untuk melaporkan transaksi yang “aneh” atau dicurigai. Dengan keharusan untuk melakukan itu semua, tahap awal penempatan dalam lembaga keuangan akan meningkatkan terdeteksinya transaksi tersebut.
PT Bank Danamon Indonesia Tbk (BDI) contohnya, telah melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Kebijakan dan Prosedur KYC
Sebagai bagian dari pengelolaan risiko dan upaya pengawasan atas tindak pidana pencucian uang, BDI menerapkan program Prinsip Mengenal Nasabah atau 'Know Your Customer' (KYC). Untuk memberikan kepastian dalam pelaksanaan prinsip KYC, BDI telah memiliki Kebijakan dan Prosedur yang mengatur mengenai pelaksanaan KYC. Kebijakan berisi prinsip-prinsip dasar pemahaman KYC, sedangkan Prosedur memberikan pedoman pelaksanaan secara mendalam mengenai KYC yang berguna bagi petugas pelaksana di setiap cabang yang berhubungan langsung dengan nasabah (frontliners).
2. Unit Kerja Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah – UKPN
Terkait dengan pelaksanaan KYC, BDI membentuk unit kerja penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (UKPN) yang bertanggungjawab langsung kepada Direktur Kepatuhan. Tugas UKPN antara lain adalah memastikan adanya pengembangan sistem identifikasi nasabah dan transaksi yang mencurigakan, memantau proses pengkinian (update) profil nasabah, serta melakukan koordinasi dan pemantauan terhadap pelaksanaan kebijakan Prinsip Mengenal Nasabah oleh unit-unit kerja terkait.
3. Pelatihan (Training)
BDI melalui UKPN secara berkesinambungan memberikan sosialisasi dalam bentuk pelatihan ke seluruh cabang BDI untuk memberikan pemahaman dan memastikan pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah. Materi pelatihan terdiri dari teori Money Laundring serta teknis pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah, yang meliputi kebijakan penerimaan dan identifikasi nasabah, kebijakan pemantauan transaksi dan pelaporan transaksi keuangan tunai mencurigakan. Saat ini BDI sedang merencanakan untuk membuat materi pelatihan KYC dalam format video training. Dengan video training ini diharapkan proses pelatihan dapat dilaksanakan secara mandiri oleh masing-masing cabang dalam waktu dan tempat yang fleksibel.
Lembaga-lembaga seperti perusahaan asuransi, perusahaan efek, pengelola reksadana, bank custodian dan pedagang valuta asing berpotensi besar menjadi sarana bagi para pelaku kejahatan pencucian uang untuk melakukan hal tersebut. Berkaitan dengan hal ini maka setiap lembaga keuangan baik bank maupun non bank harus melakukan apa yang dikenal dengan prinsip mengenal nasabah yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh lembaga pengawas masing-masing perusahaan jasa keuangan. Dalam hal pendataan, lembaga keuangan diharuskan menyimpan dokumen mengenai nasabah selama lima tahun setelah nasabah tersebut keluar dari lembaga keuangan. Dalam hal in yang dikatakan identitas antara lain adalah nama, alamat, jenis kelamin, umur dan pekerjaan.
Asuransi harus benar-benar menerapkan prinsip mengenal nasabah sehingga risiko dijadikan sebagai medium pencucian uang bisa diperkecil. Asuransi harus memperketat pengawasan dengan menjalankan prinsip tersebut, baik bagi nasabah baru maupun nasabah lama yang sudah memegang polis asuransi. Harus ada koordinasi tentang bagaimana meningkatkan efektivitas dari operasionalisasi unit- unit pelaksanaannya, bagaimana kerja samanya bisa dipererat.
Contoh lain adalah diperlukan sinergi berbagai pihak bukan hanya Departemen Kehutanan dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) saja-untuk memberantas pencucian uang oleh para cukong kayu.
Salah satu upaya yang lain untuk mengatasi kejahatan pencucian uang adalah dengan investasi etis. Upaya dari adanya investasi etis adalah melakukan tindakan investasi yang sesuai dengan moral dan etika berperilaku bisnis baik dari pihak investor maupun perusahaan. Dari berbagai produk yang berkembangan belakangan di pasar global, satu produk bertumbuh dengan pesat. Produk ini diidentifikasi dengan produk investasi yang lebih ber-”moral” atau etis, biasa disebut Ethical Investment.
Secara umum, investasi etis melakukan alokasi atau investasi uang yang memberikan kontribusi positif kepada dunia dan meninggalkan perusahaan yang merusak dunia, baik masyarakat maupun lingkungan. Sering kali sulit bagi seorang investor individu untuk menentukan apakah investasi tersebut etis atau tidak. Oleh karena itu, investasi etis biasanya dikelola oleh sebuah perusahaan sekuritas. Beberapa perusahaan yang mengelola investasi etis menghindari perusahaan atau industri yang memiliki aktivitas seperti rokok, judi, minuman beralkohol, penggundulan hutan, atau jual-beli senjata. Yang lain lebih mengutamakan pendekatan yang lebih proaktif, yaitu dengan memilih investasi yang terlibat dengan masalah perbaikan lingkungan (misalnya energi alternatif ramah lingkungan) atau bisnis yang mengutamakan hubungan sosial masyarakat (Sinar Harapan, 2004).
Hal lain yang perlu dipersiapkan oleh pemerintah Indonesia adalah kualitas sumber daya manusia pada lembaga keuangan bank dan non-bank, aparat penyidik baik kepolisian maupun kejaksaan dalam memahami profil transaksi pencucian uang. Untuk itu diperlukan kerjasama antara instansi terkait dengan PPATK, sebagai financial unit yang bertugas melakukan penyelidikan awal untuk membantu pihak kepolisian dan kejaksaan.
IV. KESIMPULAN
1. Pencucian uang (money laundering) merupakan perbuatan memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari suatu tindak pidana yang kerap dilakukan oleh criminal organization, maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan narkotika, kejahatan kehutanan, kejahatan lingkungan hidup dan tindak pidana lainnya.
2. Proses pencucian uang dilakukan dalam tiga tahap Tahap pertama adalah langkah penempatan. Tahap kedua adalah langkah pelapisan, tindakan ini untuk mengaburkan asal-usul dana tersebut. Tahap ketiga adalah langkah penggabungan.
3. Dampak yang ditimbulkan money laundering untuk Indonesia antara lain instabilitas sistem keuangan, distorsi ekonomi, serta kemungkinan gangguan terhadap pengendalian jumlah uang beredar.
4. Upaya mengatasi kejahatan pencucian uang dapat dengan teknik mengenal pelanggan, dan investasi etis.
DAFTAR PUSTAKA
Candraningrum. 2004. Kasus Pencucian Uang BNI Belum Ditindaklanjuti. http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2005/05/16/brk,.html.
Diakses Juni 2006
Dongoran, Mangarahon. 2005. Pelarian Modal, ”Money Laundring”, dan Presiden Baru. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0604/22/0802.htm. Diakses Juni 2006
Heritage dari JIPTUMM.2003. Tinjauan Normatif Terhadap Undang-Undang N0.15 Tahun 2002 Tentang “ Tindak Pidana Pencucian Uang” Terhadap Ketentuan “Rahasia Bank” Dalam Undang-Undang Perbankan Di Indonesia http://digilib.umm.ac.id/go.php?Id=jiptumm-gdl-heritage-2003-herwastuti 221. Universitas Muhammadiyah: Malang.
Kompas. 2003. Jangan Sepelekan Sanksi FATF Mengenai Pencucian Uang http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0504/13/ekonomi/1678041.htm. Diakses Juni 2006
Reksodiputro, Mardjono. 2003. Money Laundry. http://www.komisihukum.go.id/article. Diakses Juni 2006
Sianipar, Tito. 2005. Tersangka Mandiri Terlibat Pencucian Uang di Belanda
http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2005/05/16/brk,.html. Diakses Juni 2006
Sinaga, Hery. 2003. Asuransi Jiwa Rawan terhadap Pencucian Uang http://www.sinarmas.co.id/forum/artikel/jiwa.php Diakses Juni 2006
Langganan:
Postingan (Atom)